Hari minggu memang cocok sekali dihabiskan dengan bersantai. Menyeruput teh hijau di teras depan, sekalian berjemur menikmati matahari jam tujuh pagi yang hangat menyentuh sampai ke dalam hati. Bagi Naufal, relaksasi macam ini biasanya bertahan hanya sampai jam delapan. Entah pintu yang diketuk atau ponselnya yang berdering, teman-temannya pasti mengajak ini-itu agar hari minggu mereka tidak hilang dihabiskan dengan bersantai.
Pintu pagar betulan dibuka tepat pukul delapan, tapi bukan oleh temannya Naufal. Gadis berambut hitam panjang yang datang, melambaikan tangan dengan riang, membuka pagar seolah sedang membuka kebahagiaan. Mendekat ia kepada Naufal, mengambil duduk di kursi tepat bagian seberang.
"Kau sudah mandi?" Begitu kalimat yang dipakainya untuk membuka pembicaraan.
"Ini minggu pagi, Tasya—hari libur. Siswa SMA hanya akan mandi di atas jam sepuluh di hari libur."
"Kecuali ...."
"Kecuali?"
"Iya, kebiasaan itu tentu ada pengecualian, kan?! Lihatlah aku! Jam delapan sudah cantik mendatangi rumahmu—kira-kira apa alasannya menurutmu?"
Tidak langsung menjawab, Naufal malah menyeruput kembali tehnya. Dari sorot mata tajam yang ia lepaskan, tampak betul ia tengah memilih jawaban paling tepat dari pertanyaan barusan. Satu menit ... dua menit ... tiga menit berlalu dihabiskan oleh Naufal hanya dengan memandang heran ke arah Tasya.
"Ayolah! Masa orang sepintar kau tidak paham kode mudah macam itu?"
"Kode? Oh, yang tadi itu kode?! Ah, aku tidak kepikiran kalau kalimatmu itu sebuah kode. Aku sedang sibuk mencari bagian mana dari dirimu yang kau sebut cantik itu."
Jelas saja Tasya langsung meradang. Dipukulnya bahu Naufal dengan gagang sapu yang kebetulan melintang. Bukan amarah tentu karena Tasya mengayunkan sambil tertawa, baik wajah maupun hatinya. Naufal yang ingin kepalanya selamat, mengelak lalu berlari ke arah pagar depan. Niatnya sih pergi keluar rumah, menutup pagar tepat di depan wajah Tasya, menjadikan pagar sebagai penghalang antara dia dan si gagang sapu.
Namun, baru juga mau diraih, pintu pagar mendadak mengayun terbuka, menghantam tepat kepala Naufal yang tadi hendak diselamatkan. Jatuh terduduk Naufal, diiringi pekik khawatir Tasya dan respon terkejut orang yang tadi hendak masuk.
"Loh? Sedang apa kau?! Main gundu?!"
"Gundu dengkulmu!" umpat Naufal sambil menggosok perlahan dahinya yang bengkak. "Kalau mau buka pagar itu pelan-pelan dong, Phy! Sakit nih!"
Bukannya minta maaf, Dolphy malah terkikik. Terlebih saat dia sadar Tasya sedang berdiri di belakang menggenggam gagang sapu. "Lagian pagi-pagi begini bukannya duduk tenang nonton TV, malah di luar main lari-lari—macam anak kecil tahu!"
Yang sewot justru Tasya. "Heh! Mau dia lari-lari, mau dia jungkir balik naik-turun ya terserah dia!"
"Lah, kau sendiri ngapain, Ca? Pegang-pegang sapu begitu—kerja bakti?"
"Aku kan pacarnya, wajar dong aku main kemari! Beda dengan kau—datang kemari kan karena temanmu bisa dihitung dengan jari."
Terkekeh saja Dolphy. Memang kalau urusan saling hina, mana mungkin ada yang menang lawan Tasya atau Dj.
"Mau pergi ke mana memangnya kita?" Naufal kembali membahas perbicangannya dengan Tasya.
"Ngedate, tentu! Ayolah, tampan, tempat yang kita tuju hanya buka sampai jam sepuluh—cepatlah mandi!"
Sebagai budak cinta yang taat, berangkat masuk Naufal ke dalam rumah untuk menunaikan perintah.
"Yahh, mau pergi toh?" Dolphy berpikir sejenak, menimang-nimang waktu sempit yang dia punya sebelum Naufal pergi bersama Tasya. Apakah dia bisa berdiskusi saat sang kapten mandi? Jelas saja tidak mungkin. "Aku pulang dulu deh kalau begitu. Kabari aku ya kalau kalian sudah pulang, ada sesuatu yang mau aku ceritakan pada Naufal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)
Short StoryApa yang dilakukan anak SMA bengal saat bosan belajar? Minggat? Bolos? Berantem? Main game? Pacaran? They do more than that!!! Murid yang terkenal nakal di lingkungan sekolah, tidak lantas gagal di kehidupan nyata. Mereka punya ribuan kisah menarik...