Chapter 20 - Tempat Sampah

223 50 8
                                    

Kantin sekolah memang tempat yang wajar ramai saat jam istirahat tiba, tapi pagi ini beda dari biasanya. Kantin utama sekolah Vinhale penuh sesak sampai batas terluar. Jangankan duduk, untuk berdiri pun kau pastilah perlu bersikut-sikutan dengan yang lain.

"Ah, sial! Mau antri sampai jam berapa kita kalau bentuknya begini?" keluh Dolphy saat melihat antrian lapak Bu Thapen mengular sampai depan toilet.

"Daripada antri bertiga, mending suit lagi saja!" Aji memberikan saran. "Yang menang tinggal duduk dan yang kalah harus berdiri ikut antrian!"

Dolphy dan Ilman saling tatap, melempar heran karena keduanya sudah tahu siapa yang akan kalah: Aji.

"Yes! Tunggu ya! Akan aku panggil kalau pesanan kita sudah siap!" pekik anak itu girang sambil berjalan ke antrian paling belakang.

Ya, sebenarnya dengan kemampuan matanya yang tajam, Aji bisa mengetahui gerakan apa yang akan diberikan lawan dalam sepersekian detik suit. Namun, dia tidak pakai kelebihan itu untuk menang. Kebalikannya, ia malah pakai agar kalah; karena bagi dia, bergerak itu jauh lebih mengasyikkan daripada beraktifitas di tempat, apalagi kegiatan menjemukan macam duduk menunggu. Kalau mengantri, dia bisa melihat dari dekat apa yang dilakukan siswa SMA saat istirahat. Diskusi, tertawa, mengeluh, mengumpat, bahkan ada juga murid yang sedang menangis sambil menyuap jajanan. Ditambah sensitifitas panca indra yang luar biasa—Aji ibarat bentuk pengamatan yang paling sempurna.

Sementara Aji mengantri, kedua temannya melangkah menuju kursi Six Elves di sudut kantin, tempat yang tidak akan pernah diduduki murid lain selama enam sekawan masih bersekolah di Vinhale. Kantin penuh sesak pun, tetap saja tidak akan ada yang berani duduk. Keramat, enam kursi itu ibarat larangan tak tertulis yang lebih menakutkan daripada mata melotot guru BP.

Akan tetapi, pagi itu berbeda; pagi itu kursi mereka diduduki seorang perempuan yang tengah tegang menatap kerumunan kantin, ke arah seorang murid perempuan lain yang sedang tegak berpidato di atas kursi.

Dolphy dan Ilman tidak marah, tidak pula kesal—karena perempuan ini bukan sembarang orang.

"Eh, ada ibu negara!" sapa Ilman dengan semringah lebar seperti biasa.

"Berdua saja? Mana Naufal?"

"Bertiga dengan Aji yang sedang mengantri. Yang lain diam di kelas, mengerjakan tugas detensi Biologi kami akibat minggat lusa kemarin. Ini pun bisa ke kantin karena Bu Fifah yang menyuruh—meminta kami bertiga membelikan jus dan cemilan agar tetap bisa mengisi perut."

"Yahh—padahal aku sudah berharap bisa bertemu dia jam istirahat ini."

"Benar juga, tumben betul kau datang ke kantin. Biasanya kan jam istirahatmu habis dipakai untuk kegiatan OSIS."

"Ya berarti sedang ada kegiatan OSIS di kantin ini. Nalar sedikitlah—memproklamirkan diri sebagai jenius tapi logika begitu saja tidak sampai," ujar Tasya sekonyong-konyong melempar hinaan. "Ini kegiatan kampanye calon ketua OSIS yang baru. Meskipun kelas tiga, kalian tetap punya suara. Cobalah dengarkan!"

Meskipun kampanye erat kaitannya dengan janji-janji (manis tapi penuh kebohongan), calon yang sekarang bicara malah tidak menyinggung hal-hal macam itu. Yani, begitu ia memperkenalkan diri. Suaranya lantang penuh keyakinan, tajam dan berwibawa. Topik yang dia bawa berupa kritik kebijakan sekolah, kinerja OSIS periode lama yang layak untuk di-improvisasi, dan ide-ide cemerlang yang jarang sekali terpikirkan oleh remaja SMA zaman sekarang.

"—puncaknya ada pada acara tahunan yang biasa kita selenggarakan. Daripada mubazir membuang-buang anggaran dengan pentas seni, kenapa tidak coba buat agenda yang lebih bermanfaat? Inilah program yang aku usulkan: satu hari bersama anak-anak yatim atau fakir miskin. Nantinya kita bisa bergerak tiap kelompok kelas, masing-masing datang ke panti asuhan atau keluarga miskin di kota Easterham ini. Bukan hanya memberikan santunan, kita juga ikut bagian dalam keseharian hidup mereka; mengikuti dan mengalami sendiri bagaimana sulitnya kerja keras di luar bangku sekolah. Agar jadi pembelajaran, agar jadi—"

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang