Chapter 21 - Seratus

184 56 3
                                    


Sebagian besar dari kita pasti sepakat, mata pelajaran paling sulit sekaligus menjemukan pastilah matematika dan semua turunannya. Makin tua makin tak masuk akal; dari yang tadinya soal berupa angka tanpa huruf, di kelas tiga SMA bentuk soalnya berubah total menjadi huruf tanpa angka. Kalau sudah begitu jenis soal yang keluar, biasanya siswa tinggal berdoa saja kepada Tuhan—berharap ada malaikat yang diturunkan untuk bantu membisikkan jawaban.

Kelas 3.1 saat ini sedang ada kuis matematika. Lima soal diberikan, semuanya huruf tanpa angka. Lima belas menit berjalan, setengah isi kelas sudah tak lagi fokus pada kertas. Garuk-garuk kepala, menatap keluar jendela, sampai yang menjilati pena pun ada pertanda otaknya makin gila.

"Bagaimana? Soalnya mudah, bukan?" tanya Bu Hana, guru matematika mereka. Senyap saja yang menyambut, jelas pertanyaan macam itu hanya menimbulkan dongkol. "Biar makin menantang, coba baca pertanyaan nomor lima! Adakah yang mau menjawab langsung di papan tulis dalam waktu lima belas menit? Kalau jawaban kalian sempurna, nilai kuis ini dan Ulangan Tengah Semeter nanti akan Ibu kasih seratus—langsung tanpa perlu ikut ujian lagi."

Jelas saja seisi kelas langsung membaca bentuk soal nomor lima. Sudah tertebak sebetulnya, hadiah dua kali nilai seratus secara cuma-cuma mana mungkin tanpa harga—sungguh sulit luar biasa. Namun, tantangan itu tidak berujung hampa; seorang murid mengangkat tangan, bangkit berdiri menuju papan beriring mulut teman-temannya yang menganga. Ah, jangankan sesama murid, gurunya pun tidak percaya!

"Kau yakin bisa mengerjakannya, J? Takutnya mengerjakan di papan kau tidak bisa, kuis tak pula selesai. Kecil nilaimu nanti."

Dj terkekeh. Ia mengambil spidol dengan penuh percaya diri. "Aku memang bodoh, Bu—makanya semalam yang aku pelajari cuma satu model soal. Kebetulan mirip pula bentuknya dengan nomor lima ini! Yakin aku, nilaiku akan seratus semester ini!"

Memang bukan sedang sesumbar dia. Lancar betul tangannya menggores tinta, menuliskan persamaan demi persamaan, meski sesekali harus berhenti untuk menggaruk kepala. Sepuluh menit kemudian, penuh sudah papan tulis dengan coretan. Mundur Dj tiga langkah, menatap bangga jawaban yang ia rasa sudah sempurna. Seisi kelas kembali dibuat menganga; bahkan kelima temannya sampai kencang memegang kepala, tak percaya kalau Dj kepikiran cara pengerjaan yang demikian payah.

"Ah, sedikit lagi, J. Kau ada keliru di konversi persamaan kedua."

Dj mengerjap, melotot matanya ke arah persamaan yang dimaksud—baris ketiga dari jawaban yang dia buat, sedangkan total baris yang ada di papan mencapai dua belas. Oh, kawan, ini artinya dia harus mengulang jawaban dari awal!

Percaya dirinya mulai hilang. Gugup, keringat mulai bercucuran. Apa yang salah?! Hasil kali sudah betul, urutan pengerjaan juga tidak ada yang terbalik meski banyak tanda kurung. Sial! Bagian mana memangnya yang salah?!

"Waktumu tinggal lima menit lagi, J. Kalau tidak ketemu, lebih baik duduk lagi untuk mengerjakan kuismu."

Gugupnya sekarang berubah jadi kesal. Kesal kenapa ia bisa gagal padahal tinggal sedikit lagi selesai, kesal kenapa sang guru malah memberikan tekanan, dan juga kesal karena dirinya sekarang mulai putus asa.

BRAKKK!

Pintu kelas mendadak ditendang dengan kasar dari luar, menghantam dinding menimbulkan bunyi keras yang mengagetkan sisi kelas. Tentu saja konsentrasi semua orang langsung buyar, berpindah ke arah empat orang siswa berambut cepak yang masuk kelas dengan membusungkan dada. Dari warna biru seragam yang dikenakan, terlihat betul mereka bukan siswa sekolah Vinhale.

"Loh, a-ada apa ini?!" tanya Bu Hana.

"Diam, Bu! Duduk saja di kursimu kalau tidak mau ada yang terluka!" hardik siswa yang tubuhnya paling besar dan gempal.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang