"Mampir sebentar ke kiri, Phy! Sekalian kita belikan makan siang mereka. Mana enak mampir di jam makan tanpa membawa makanan, bukan?"
"Ada berapa orang anggota keluarganya?" tanya Naufal saat mobil sudah parkir dengan sempurna di halaman sebuah rumah makan padang.
"Yani punya dua orang adik, ditambah ibunya—total empat orang."
Naufal lantas mengulurkan dua lembar uang seratus ribu pada Tasya. "Ini—belilah delapan bungkus, sekalian untuk mereka makan malam." Belum jauh Tasya berjalan, Naufal buru-buru turun dari mobil untuk berteriak. "Empat nasi rendang, empat lagi nasi ayam ya! Biar variasi menu lauk mereka!"
Tasya melambai, mengacungkan jempol dan telunjuk dibentuk seperti hati—tanda paham yang begitu manis dari sekedar kalimat afirmasi.
"Aduduh pinggangku!" Dolphy ikut keluar dari mobil, melakukan peregangan tubuh bagian atas dengan wajah lesu. "Aku jadi bingung caranya si Yani pergi sekolah. Ini bukan lagi Easterham, kan? Sudah hampir masuk kabupaten lain, kan? Kita saja pakai sedan butuh satu jam perjalanan, bangun jam berapa dia supaya tidak terlambat?!"
"Berangkat sebelum subuh, menumpang kendaraan pasar, yah—sesuatu yang orang kaya macam kau tidak akan kepikiran, tidak pula akan merasakan."
Perjalanan mereka dilanjut dengan menembus hutan karet. Lima belas menit kemudian, Tasya minta Dolphy memarkirkan kendaraan di halaman masjid yang ukurannya lumayan. Kita harus jalan kaki dari sini, begitu yang dikatakan Tasya.
Karena yang nampak cuma tumbuhan merimba, jalan kaki mereka sudah macam petualangan. Tidak terlihat tujuan—jalan berbatu saja selebar dua kendaraan besar. Yang pasti, ada bau menyengat jelas tercium makin jauh mereka berjalan. Lama kelamaan makin tajam, Dolphy bahkan berulang kali bersin sebab merah gatal hidungnya.
"Oh, jangan bilang kita harus melewati bukit itu!" keluh Dolphy saat ujung matanya menangkap sesuatu.
"Bukit itulah yang kita tuju, Phy, seratus meter dibelakangnya."
Kalau kau bayangkan yang dimaksud adalah hamparan hijau rumput dan pepohonan, menggunduk tinggi gagah kelihatannya, oh—kau salah sangka, kawan.
Tak kuat Dolphy saat makin dekat, lubang hidungnya harus ditutup dengan telapak. Menggunung tinggi di depan mereka tumpukan limbah rumah tangga: sampah. Lima meter mungkin lebih, salah injak di atas sana bisa jadi kau terperosok lalu tenggelam di dalamnya. Ah, jangankan menginjak, mendekat pun mereka bertiga tidak punya keinginan.
Beda yang terasa, beda pula yang terlihat. Meski orang umumnya tidak akan kuat untuk mendekat, di atas sana ada belasan orang sedang mengais mengorek tumpukan dengan seksama. Sekali saja ketemu barang yang mungkin bisa dijual, senyum tergurat manis di wajah mereka. Anak kecil pun tak kalah gembira; ada satu yang menemukan mainan bekas, dijunjung tinggi ke atas sambil teriak bahagia seolah baru saja menemukan harta.
"Aku dapat mainan kapal! Aku dapat mainan kapal!" ucap si mungil, tangannya mengayunkan model mini pesawat baling. Teman-temannya datang, ingin melihat, ingin memegang. "Aku jadi pilot! Aku jadi pilot ya! Kalian jadi penumpang!" teriaknya memberi aba-aba. Lantas mereka ambil posisi, si pilot berdiri di depan memegang pesawat. Berlari dia, berlari pula teman-temannya. Meliuk kanan-kiri seolah betulan imajinasi mereka. Dengung ribuan lalat di sana sedikit-banyak membantu khayal, seolah mesin pesawat memang yang sedang mereka jajal.
"Oke, ini dia rumahnya. Halo! Assalamualaikum! Yani!"
Kau salah kalau mengira Tasya berteriak di depan bangunan rumah. Tempat itu hanyalah tumpukan kardus ditempelkan ke pancang berupa tiang kayu, pastilah rubuh kalau tertiup angin kencang. Ditambah terpal biru kumal yang menahan atap agar tidak bocor, ah—dan lokasinya yang hanya seratus meter dari tempat pembuangan akhir, kurasa kita semua sepakat: tidak satu pun spesifikasi yang membuat tempat ini layak untuk ditinggali. Kalau pun ada, pastilah karena pohon Angsana rimbun di sebelah kanan. Rantingnya rendah dan kokoh, dijadikan gantungan oleh Tasya karena sudah terasa berat bingkisan yang dibawa Naufal dan dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)
Kısa HikayeApa yang dilakukan anak SMA bengal saat bosan belajar? Minggat? Bolos? Berantem? Main game? Pacaran? They do more than that!!! Murid yang terkenal nakal di lingkungan sekolah, tidak lantas gagal di kehidupan nyata. Mereka punya ribuan kisah menarik...