"Permisi, saya mau mengantarkan makan malam untuk Tuan Dolphy."
"Oh, silahkan suster!" ujar Aji mempersilahkan karena ia yang membuka pintu.
Six Elves saat itu sedang berkumpul di kamar mewah sebuah rumah sakit swasta. Bukan sedang piknik tentu saja. Mereka sedang menemani Dolphy yang terbaring lemas di ranjang perawatan. Untunglah kamar itu luas, nyaman dengan karpet dan sofa empuk lengkap dengan kulkas dan TV, malah ada tambahan kasur kecil di sudut ruangan sebagai tempat tidur keluarga pasien.
"Boleh saya pakai mejanya? Ini meja untuk makan pasien," kata si Suster. Ia kini berdiri tegak di depan meja kecil yang sedang dipakai main monopoli oleh Adyth, Dj, Ilman, dan Naufal.
"Ini nih, Suster, teman saya nih! Malah dipakai main!" Dj menunjuk Ilman seolah menyalahkan.
"Kenapa jadi aku?! Yang bawa monopoli kan kau, kampret!" Ilman membela diri.
"Udah wey mejanya mau dipakai—beresin, beresin," ujar Adyth sambil memasukkan satu persatu alat permainan ke dalam kotak, sementara mejanya diambil suster untuk diletakkan di atas kasur.
"Lah kan bisa diturunin dari meja, Dyth, kita belum selesai main!" pekik Dj.
"Mentang-mentang hampir bangkrut kau ya—tidak mau kalah," ejek Naufal.
Adyth tertawa kecil. "Kalah? Cash aku kan yang paling banyak!"
"Tapi tanah kau cuma satu!" Ilman ngegas.
"Maaf, Mas," kata si Suster memotong perdebatan. "Mohon suaranya bisa dipelankan agar tidak mengganggu pasien yang sedang beristirahat."
"Tak apa, Sus. Justru kalau ramai saya bisa lebih cepat sembuh," kata Dolphy membela teman-temannya.
"Bener tuh, Suster. Dia tidak bisa apa-apa kalau sendirian," Dj menimpali.
"Lagi sakit pun aku masih kau hina ya," ujar Dolphy nyengir.
Si Suster tersenyum lembut. "Akan tetapi, kebetulan jam besuk kita sudah lewat, Mas. Jadi mohon maaf bukannya bermaksud mengusir—ini demi kesehatan pasien juga."
"Kita menginap kok, Suster," jawab Adyth.
"Keluarga yang mendampingi pasien hanya boleh satu orang, Mas."
"Yaah," keluh Six Elves bersamaan.
"Maaf ya, Mas. Sudah kebijakan rumah sakit begitu," kata Suster sambil tertawa kecil. Sebelum keluar kamar ia kembali berkata, "Saya tinggal ya! Nampan dan piringnya akan saya ambil setengah jam lagi."
"Kalian pulang gih, biar aku yang menginap di sini."
"Tidak, tidak, Fal. Biar aku saja. Rumahku paling jauh, mager," kata Aji.
"Justru karena rumahmu paling jauh, kau harus pulang," komentar Adyth. "Aku saja yang tinggal, rumahku paling dekat."
"Halah, kau kalau di sini kerjaanmu paling cuma tidur dan nonton TV," Ilman mengejek. "Biar aku yang di sini, aku bahkan sudah bawa seragam. Jadi, besok aku bisa berangkat sekolah langsung dari sini."
"No, biar aku saja yang berjaga di sini, kawan-kawan," bantah Dj. "Aku diskors tiga hari, ingat? Bebas, santai—tidak perlu repot-repot pergi sekolah macam kalian. Aku bisa menjaga anak manja ini full dua puluh empat jam."
"Kau yakin?" tanya Naufal.
"Tentu, Bos," sahut Dj. "Lagipula tempat ini jauh lebih bagus dari rumahku. Anggap saja aku sedang dapat tempat tidur mewah gratis."
"Besok pagi aku mampir lagi deh! Kubelikan nasi uduk nanti buat kau sarapan."
"Tidak perlu, Dyth. Di bawah ada kantin, tinggal pesan lewat telepon," Dolphy yang menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)
Short StoryApa yang dilakukan anak SMA bengal saat bosan belajar? Minggat? Bolos? Berantem? Main game? Pacaran? They do more than that!!! Murid yang terkenal nakal di lingkungan sekolah, tidak lantas gagal di kehidupan nyata. Mereka punya ribuan kisah menarik...