Chapter 17 - Rezeki

204 56 8
                                    

"Harga-harga memang pada naik, tapi insyaAllah saya dan keluarga masih bisa makan, Dik. Rezeki itu bukan cuma apa yang kita jual atau beli. Kadang kalau lapak lagi mampet, ada saja tetangga yang nolongin, ngasih beras atau roti. Sekarang mah—alhamdulillah, jualan saya laku terus."

"Di sini yang paling laku apa memangnya, Bu?"

"Ya ikan dong, saya kan cuma jual ikan!" jawab ibu penjual sambil tertawa setelah mendengar pertanyaan konyol Ilman.

"Yee, saya juga tahu Ibu jualan ikan. Maksud saya jenis ikan yang paling laku."

"Lah, piye toh? Adek bisa lihat sendiri di depan saya ini cuma ada lele!"

Sementara si ibu makin terbahak, Ilman malah garuk-garuk kepala. Naufal yang sedang pegang kamera pun tidak bisa berbuat banyak, hanya tersenyum lebar sembari memberi kode pada Ilman untuk segera mengakhiri pembicaraan.

"Oke Ibu, terima kasih sudah mau diwawancarai. Ini ada sedikit pemberian dari kami."

"Wah, Dik, kalau begitu tiap hari saja sampean  datang. Cuma jawab pertanyaan sedikit dapet duit, rejeki nomplok ini namanya!" sahut si penjual yang masih tertawa.

Dari sekian banyak lokasi yang bisa dijadikan tempat shooting, pasar basah mungkin pilihan yang paling buruk. Tempatnya becek dan sempit oleh pembeli yang berdiri menunggu ikan mereka selesai dipotong. Meskipun demikian, penjual di sana jauh lebih ramah dibandingkan tempat lain. Proses wawancara pun jadi cepat dan mudah tanpa harus banyak kompromi terlebih dahulu.

"Dadah adik-adik ganteng! Lain kali ke sini lagi ya!" ucap salah satu penjual diiringi sorak-sorai yang lain.

Dua sahabat itu hanya bisa menunduk menahan malu saat pergi dari sana.

"Kau sepertinya cukup populer di kalangan ibu-ibu, Man," canda Naufal saat mereka sudah masuk ke areal buah-buahan.

"Aku sama sekali tidak bangga dengan pujianmu itu, terima kasih."

"Oh, ayolah! Kau harus catat itu sebagai kelebihan! Ibu-ibu kan biasanya cuma mau akrab dengan orang baik, Man."

"Ngasal kau! Tahu darimana mereka kalau aku orang baik?"

"Insting. Ibu-ibu kan instingnya tajam kalau urusan akhlak," balas Naufal sambil tertawa.

Mereka berhenti mendadak, obrolan tak lagi dilanjutkan. Sepuluh langkah di depan, ada tiga orang preman sedang berdiri di depan sebuah lapak buah-buahan. Yang satu botak, yang satu kekar badannya bak binaragawan, sedangkan yang satunya punya tato naga di leher. Wajah mereka sangar, mata mereka melotot seolah hendak melompat keluar. Empunya lapak sedang membungkuk, menatap sendu ke arah satu kotak apel yang dibuang ke jalan oleh preman-preman itu.

"Sudah hari ke berapa ini, hah?!"

"Hari ke-ke—"

"Jawab yang betul!" bentak salah seorang preman. Tidak puas hanya membentak, ia juga menumpahkan apel dari kotak lain. Isinya berhamburan ke jalan, menggelinding ke sela-sela langkah kaki pengunjung pasar. Namun, seolah tidak melihat apapun, pengunjung yang lain terus saja berjalan melangkahi apel segar yang sekarang berlepotan air sampah.

"Hari ke tiga, Pak!"

"Nah, sudah tiga hari lewat dan kau masih tidak mau bayar uang keamanan?! Apa mau aku acak-acak lapakmu ini?!"

"Jangan, Pak! Jangan!" si Bapak pemilik lapak makin menunduk. "Saya bukan tidak mau bayar, tapi keuntungan saya memang sedang turun, sumpah saya tidak bohong!"

"Ya itu urusan kau lah! Kami tahunya kalau kau jualan di sini, tiap hari kau harus bayar!"

"Ampun, Pak, ampun! Besok saya coba cari pinjaman uang dulu, Pak--lusa saya akan bayar."

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang