Chapter 26 - Makan Siang

226 48 42
                                    

Sabtu pagi sebetulnya nikmat betul kalau dipakai tidur lagi. Lelah senin sampai jumat dibalas tuntas dengan kenikmatan menggeliat di ranjang, meluruskan pinggang dalam selimut, kemudian lima menit kemudian kembali terpejam. Begitu juga yang dirasakan Dolphy, jam tujuh ini masih nikmat dia merebahkan badan. Biasa sabtu tetap sekolah meski hanya ekskul, tetapi skorsing hari ini membuatnya bisa menikmati istirahat setelah capek merunut kasus.

Langsung melotot matanya saat mengingat skorsing sekolah. Urung lanjut tidur, langsung bangkit dia merogoh amplop putih dengan cap sekolah dari dalam laci meja. Begitu dapat, langsung lari keluar kamar tanpa gosok gigi atau mengusap muka, anak tangga dilompati tiga-tiga, ruang makan yang jadi tujuan dia.

Begitu pintu terbuka, senyum ramah langsung menyambut pagi harinya. Senyum yang biasanya tidak pernah ada. "Selamat pagi, Nak. Papa pikir kau tidak akan bangun sebelum jam tujuh."

"Papa mau ke mana hari ini?" tanya Dolphy mengambil duduk di seberang sang ayah yang sudah necis dengan kemeja.

"Kantor polisi, tentu," jawabnya sambil mengoleskan selai kacang ke selembar roti. "Kau bisa tidur nyenyak malam ini karena Papa menjanjikan itu pada mereka. Ini kasus besar, Phy. Papa benar-benar tidak menyangka kau dan teman-temanmu bisa mengerjakan ini!"

Dolphy terkekeh. "Kami sering mengerjakan kasus besar lain, Pa. Papa pasti belum tahu kasus pembunuhan berantai saat kami berlibur ke tempat pamannya Ilman di Thailand. Kasus itu lebih berat daripada yang kemarin!"

"Oh, ya? Aneh dong kalau kau masih hidup? Berlari saja kau kesulitan, kan?" ejek Rudolph.

Tinggal tarik kerah baju tidur sebetulnya, tunjukkan luka gores di leher pemberian Grace pada bapaknya dan pastilah tawa itu hilang. Tidak dilakukan oleh Dolphy, ada hal lain yang lebih penting yang ingin dia ketahui. "Pa, kapan Papa pergi lagi?" tanyanya dengan murung.

Tanpa menoleh, tanpa tersenyum. Jawaban datar dan to the point seperti biasa. "Sore nanti. Pesawatku jam lima."

Langsung menghela nafas Dolphy. Meskipun sebetulnya sudah coba ditahan, tetap saja pedih rasanya saat orang tua lebih mementingkan pekerjaan daripada tinggal bersama anaknya. "Aku dapat surat panggilan orang tua dari sekolah."

"Karena kasus kemarin? Tidak heran. Nanti aku akan bilang ke Zaid. Biar polisi yang menjelaskan ke sekolah."

Bukan—bukan itu yang Dolphy inginkan. Amplopnya diletakkan di atas meja, digeser kemudian sampai tengah-tengah. "Apakah Papa bisa menyempatkan datang? Jam 7.10 biasanya sudah mulai. Hanya lima belas menit, Pa, paling lama setengah jam."

"Dan apa untungnya bagiku datang ke sana?"

Langsung menunduk kepala Dolphy. Jelas tidak akan ada untung bagi bapaknya. Datang ke sana untuk diceramahi, lebih baik buka tab, mengurus bisnis yang mengalirkan pundi-pundi kekayaan berujung pada kesejahteraan Dolphy itu sendiri. "Maaf kalau aku meminta hal yang aneh, Pa. Aku hanya—sedih. Papa satu-satunya wali murid yang tidak pernah datang saat ada surat panggilan, sampai-sampai aku dianggap pihak sekolah sebagai anak buangan, yatim-piatu—" mengangkat sekarang kepala Dolphy. Tidak ada sedikit pun air mata yang dia tunjukkan seperti dulu kalau orang tuanya bepergian. Senyum manis yang menghias sekarang, teduh dan enak dipandang. "—yah, mau bagaimana lagi? Resiko kalau punya orang tua hebat ya begini."

Papanya termenung seperti terkejut melihat perubahan sikap anak tunggalnya. Jangankan balas tersenyum, mengoles roti pun urung dilanjutkan. Mungkin dalam hati dia sedang bergumam, ini anak habis berobat di mana ya?

"Karena Papa berangkat jam lima, apakah bisa kita makan siang bersama?"

"Boleh. Di restoran Perancis Jalan Suram ya."

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang