Chapter 14 - Cerita Masa Kecil 1 : Dua Anak Satu Nasib

220 61 5
                                    

(Easterham, mundur dua belas tahun dari timeline waktu sekarang)

"Pistol?"

"Ada."

"Pisau lipat?"

"Nih masuk saku."

"Cairan peluntur darah?"

"Lengkap."

"Kaus kaki?"

"Check."

"Berapa pasang?"

"Empat."

"Kau butuh lima pasang, Ayah. Tiga untuk kau pakai sehari-hari, satu untuk malam, dan satu untuk jaga-jaga kalau-kalau kau kehujanan."

"Ide bagus! Cepat ambilkan di lemari kalau begitu."

"Sudah aku masukkan ke dalam kopermu semalam."

Pria itu tersenyum lebar. Jelas bangga rasanya memiliki seorang anak yang pintar dan penuh perhatian. Berlutut ia di hadapan anaknya kemudian berkata,

"Nak, Ayah benar-benar minta maaf karena harus pergi. Kalau bukan karena kasus berat, ibumu pasti bisa menyelesaikannya sendiri tanpa Ayah."

"Kita sudah bahas ini semalam, Yah. Aku sepenuhnya paham, kok!"

"Houchi dan istrinya akan tinggal di sini mulai minggu depan. Kau tidak akan sendirian lagi sehabis itu."

Anaknya itu hanya menganggukkan kepala.

"Kau yakin tidak apa-apa tinggal sendirian di sini?"

"Tentu saja, Yah. Umurku sudah lima tahun, apa yang harus aku takutkan?"

"Makanan?"

"Aku lebih sering menghidupkan kompor daripada Ayah dan Ibu. Kalau malas masak, tinggal pesan atau beli di luar."

"Mencuci?"

"Kalau mesin cuci itu bisa bicara, saat ketemu aku dia bakal bilang 'halo, kawan kecil! Siap mencuci hari ini?!' dan saat ketemu Ayah dia pasti akan bilang 'siapa kau wahai pria tegap dengan wajah berbulu?'."

Sang ayah langsung tertawa mendengar lelucon kecil anaknya itu.

"Penjahat? Bagaimana kalau ada perampok atau penculik?"

Si anak mengepalkan tangan ke arah wajah ayahnya. "Pasti bisa aku tangkap meskipun penjahat itu punya kemampuan sehebat Ayah."

"Hmm, kalau Ayah yang tiba-tiba jadi penjahat, apa kau sanggup menangkap Ayah?"

Anak itu berpikir sejenak, mengerutkan wajah sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung seberapa besar kejahatan yang Ayah perbuat. Kalau cuma maling roti, tak perlulah ditangkap. Alasan Ayah maling makanan pasti karena lapar, penjahat macam itu justru perlu ditolong, bukan dihinakan. Ah, tapi kalau Ayah membunuh atau menghancurkan hidup seseorang, aku pastikan aku yang paling depan menjebloskan Ayah ke dalam penjara."

Senyum lebar menghias di wajah si ayah. Anaknya dipeluk erat, sebisa mungkin ia ingin memberikan apa yang memang harusnya diberikan oleh seorang ayah, cinta. Jauh di lubuk hati, ia bangga mendapatkan anak jenius nan bijaksana. Namun disisi lain, ia merasa gagal menjadi seorang ayah. Orang tua macam apa yang sanggup meninggalkan anak lima tahun seorang diri di rumah?

"Ayah pergi dulu kalau begitu. Jaga dirimu baik-baik ya!"

"Ayah juga ya! Hati-hati di jalan! Semoga pekerjaan kalian lancar! Jangan lupa oleh-oleh!"

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang