"Mampir jajan sosis dulu yuk!"
Jelas permintaan Adyth itu langsung disanggupi. Siapa yang tahan dengan godaan sosis goreng abang-abang yang nongkrong depan SD atau TK? Hangat habis digoreng, langsung dicelup ke saus cabai oranye. Meskipun jelas tidak ada sehat-sehatnya sedikit pun, kenikmatan itu tetap tidak terbantahkan.
"Engga pada sekolah kalian?" tanya si abang penjual sosis.
"Jam istirahat bang, abis makan Gudeg itu di pengkolan," jawab Naufal. Mereka berenam kini asyik mencelupkan berbagai jenis sosis dan nugget ke dalam minyak panas penggorengan.
"Bang hati-hati sama temen saya yang ini, bang!" tiba-tiba Adyth nyahut, menunjuk-nunjuk Dj. "Dia suka ambil lima bayar cuma dua."
"Ngaco! Aku pun ini cuma ambil satu!" Dj memukul kepala Adyth.
Si Abang cuma bisa ketawa. "Saya mah sudah sering dibegituin sama anak-anak SD, sudah biasa. Alhamdulillah, engga pernah rugi tuh sampe sekarang. Ikhlas saja kita mah kalau jualan, jangan dibawa gerutu. Jatohnya kan sedekah, ibadah."
Mendengar ceramah itu, Six Elves menganggukkan kepala--sambil mengunyah sosis tentu.
"Eh, abis ini kita kelas apa ya?"
"Mahemahika," jawab Dolphy dengan mulut masih penuh dengan sosis.
"Walah, ada PR kan? Aku belum nih. Bolos saja yuk!" ajak Aji.
"Yee apa kerjaan kau memangnya, hah? Kan aku sudah share jawabannya semalam, kau tinggal nyalin loh!" kata Ilman.
"Mampus kau, kena setrap!" Dj memanas-manasi.
"Jangan gitu dong! Maen warnet sajalah yok kita," lagi-lagi Aji membujuk. "Fal, ayolah, aku bayarin deh paket dua jam."
"Kita sudah bolos kelas Biologi kemarin, Ji. Kelas Seni tadi pagi juga kita pakai nongkrong di kantin Bu Thapen," tolak Naufal. "Lagipula PR ini kan penting, jadi ganti nilai ulangan minggu kemarin."
"Oh, gitu ya ... jadi persahabatan kita cuma sebatas PR Matematika," kata Aji sok-sok kecewa.
Sontak kelima temannya berteriak huu kencang sambil menghujani Aji dengan tusuk sosis.
"Okelah, aku temani kau main warnet," kata Dj yang langsung disambut hangat oleh Aji.
"Huaa ... makasih loh, J, sudah mau berkorban bela-belain bolos."
"Berkorban apaan? Aku juga belum buat PR soalnya."
Giliran Dj sekarang yang dihujani dengan tusuk sosis.
"Kalau begitu kami berempat masuk ya!" kata Naufal. "Nanti tas kalian ambil saja di rumahku."
"Oke! Thanks ya bro!" ucap Aji sambil melambaikan tangan. Setelah keempat sahabatnya hilang dari pandangan, ia dan Dj pun mulai berjalan ke arah warnet dekat pasar.
Belum juga jauh dari gerobak sosis tadi, mereka tiba-tiba berhenti. Tertarik mata mereka melihat seorang anak kecil yang sedang diam seorang diri, tubuhnya lusuh penuh debu tanpa alas kaki.
Anak kecil itu menatap murid-murid TK sebaya dengan dirinya, sedang bergantian memasuki kelas dengan pakaian cerah dan ransel warna-warni. Disaat murid-murid TK di sana sedang saling rangkul dan bersalaman dengan Ibu guru, anak ini hanya bisa termangu menggenggam baju, menahan rasa iri dan ingin tahu yang besar akan sekolah.
Kira-kira, apa yang sedang ia pikirkan?
Apa ia sedang mengeluh karena hidupnya berbeda? Sedang menggerutu keras menahan amarah, kesal terhadap orang tuanya yang tak sanggup menyekolahkan? Atau menyalahkan keadaan sekolah yang hanya bisa menerima murid dari kalangan mampu saja?
"Anak kecil mana mungkin berpikir seperti itu, Ji. Yang dia tau hanya rasa cemburu menggebu-gebu," ujar Dj.
Aji kini merenung. Jelas kondisi anak itu berbanding terbalik dengan ia sekarang. Perihal nasib, jelas Aji jauh lebih baik. Tapi urusan niat sekolah, ia kalah habis dari anak umur lima tahun. Timbul bercak rasa malu di relung hatinya yang paling dalam.
"Ayo kita kembali saja ke kelas, J."
"Loh? Tidak jadi main warnet?"
"Nanti saja, setelah kita selesai dengan PR Matematika."
*(Foto diambil dari Instagram sobat_reminder)
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)
KurzgeschichtenApa yang dilakukan anak SMA bengal saat bosan belajar? Minggat? Bolos? Berantem? Main game? Pacaran? They do more than that!!! Murid yang terkenal nakal di lingkungan sekolah, tidak lantas gagal di kehidupan nyata. Mereka punya ribuan kisah menarik...