"Coba tebak ini gambar apa, J?" tanya Aji penuh kebanggaan.
"Kera?"
"Hah? Ini Ilman—wajah Ilman!"
"Loh, apa bedanya memang?" kata Dj terkikik sementara Ilman yang mendengar ejekan itu hanya bisa mengumpat dari jauh.
Siang itu tepat hari ketiga mereka 'mewarnai' gedung olahraga sekolah sebagai bentuk akhir hukuman minggat dan bertengkar lawan guru BP.
Tawa itu langsung berhenti begitu Adyth memukul kepala mereka berdua. "Yang serius dong! Kerjaan kita masih banyak!"
"Kan tinggal setengah sisi ini lagi!" jawab Aji.
"Setengah sisi apaan? Kau tidak dengar apa kata kepala sekolah? Semua bagian dalam gedung olahraga. Itu berarti termasuk toilet, ruang ganti pemain, gudang, ruang piala, dan bukan cuma dinding lapangan!" Adyth mengoreksi.
"Bah, pikirnya kita kuli bangunan apa?!"
"Kita kriminal sekolah, J, wajar saja dihukum. Malah kau hampir gelut dengan guru BP, masih untung kita tidak dikeluarkan," ujar Naufal. "Kalian bertiga cat ruang ganti sana, nanti kami menyusul setelah dinding ini selesai."
Ketiga temannya itu langsung menurut. Senakal apapun kau, hukuman sekolah mana boleh diabaikan. Malah, hukuman ibarat bukti sah cap nakal terhadap diri seorang siswa. Hukuman dan nakal itu berbanding lurus. Makin besar hukumannya, makin besar pula derajat kenakalan sang siswa.
"Aku ke depan dulu beli gorengan sama minum ya!" Dolphy meletakkan kuas catnya.
"Jangan terlalu banyak, kita kan mau makan siang habis ini."
"Banyak juga tak apa, Phy! Tenang—pasti habis kok!" Ilman menimpali sambil tertawa.
"Aku borong satu gerobak ya! Awas kalau tak kau habiskan!" pekik Dolphy sambil mengulurkan tangan hendak membuka pintu gedung olahraga.
Mendadak pintu terbuka dengan cepat, untung Dolphy bisa refleks mengelak menyelamatkan hidungnya dari ayunan kayu tebal itu.
"Eh, aku kira tidak ada orang," ucap murid laki-laki berpakaian olahraga yang membuka pintu.
"Bagaimana sih kau ini?! Pintu ini tuh ditarik ke luar, bukan didorong ke dalam!" ujar Dolphy kesal sambil berlalu.
Sejenak memperhatikan dari jauh, Naufal bisa menyimpulkan kalau murid itu pastilah anak baru. Celingukan sambil sesekali ngescroll HP, jelas ciri orang yang merasa asing di tempat baru. Sekian lama bengong, ia mengeluarkan bola basket dari dalam tas kemudian mulai melemparkan bola ke arah ring. Cakap, anak itu terlihat jago. Dribblenya lincah, lay up nya tajam, tembakannya pun hampir selalu masuk.
Setelah puas mengamati, Naufal lalu kembali fokus dengan kuas dan dinding.
BUGH!
Salah satu tembakan meleset, bola memantul ke arah kaleng cat yang sedang dipakai Naufal. Untung Ilman segera sadar. Ia tendang kuat-kuat bola itu ke arah pemiliknya.
"Hati-hati dong, woy!" tegur Ilman. "Apa kau tidak lihat kalau kami sedang ngecat di sini?!"
"Jangan ditendang juga dong! Ini kan bola basket, bukan bola sepak!"
"Kalau sampai kaleng cat ini tumpah kena bola kau tadi, kepala kau yang akan aku tendang!" Ilman makin ngegas.
Mendengar kalimat itu, nyalinya langsung ciut. Ia langsung datang menghampiri untuk kemudian membungkuk meminta maaf. Tak hanya pada Ilman, anak itu juga mengulurkan tangan pada Naufal sambil tersenyum.
"Namaku Rizki. Salam kenal ya."
"Bro Rizki, bukannya kami mau mengusir bro, tapi gedung olahraga belum bisa dipakai hari ini. Kau bisa kembali besok kalau mau latihan," kata Naufal dengan frontal.
"Oh, aku kemari bukan untuk latihan. Aku diminta kapten tim basket untuk datang ke tempat ini, katanya sih syarat untuk tes masuk klub. Aku duduk di sana saja deh, maaf kalau mengganggu kalian ya!"
Naufal dan Ilman saling pandang, heran.
"Kapan aku bikin janji dengan kau?" tanya Naufal.
"Loh? Maksudnya?" Rizki malah balik bertanya. "Aku kan bikin janji sama kapten tim basket, bukan kau."
"Ya kapten tim basket itu dia!" jawab Ilman.
Bukannya ngeh, Rizki malah tampak tidak percaya. Ia menatap sinis seolah menganggap Ilman dan Naufal sedang halu.
"Kau anak baru?"
Rizki mengangguk. "Aku baru pindah bulan kemarin."
"Oalah ... pantas saja."
"Aku sempat nonton pertandingan antar sekolah awal semester lalu. Boro-boro jadi kapten, kau main pun tidak. Mentang-mentang aku anak baru, kalian pikir aku bisa dengan gampang dibohongin?"
Ilman menggeram kesal. "Eh, kutu kupret! Dia itu kemarin dilarang main! Kau tahu kenapa?! Karena kalau dia main, pasti--"
"Cukup, Man," potong Naufal. Beralih ia menghadap Rizki kemudian berkata, "Kau sudah dengar penjelasan aku tadi, kan? Gedung olahraga tidak bisa dipakai hari ini--kembalilah besok."
"Kau kan mengecat dinding, sedangkan aku bermain di lapangan. Kita tidak saling mengusik jadi, kan? Kenapa aku harus pergi?" ujar Rizki dengan nada angkuh, padahal jelas-jelas bolanya tadi hampir menjatuhkan kaleng cat.
"Begini saja deh, bagaimana kalau kita main basket satu lawan satu--yang cetak skor duluan yang menang. Kalau aku kalah, aku langsung pulang; tapi kalau aku menang, kalian yang pulang. Kembalilah besok dengan kuas dan cat kaleng kalian itu."
"Bagaimana kalau kita duel satu lawan satu. Kalau kau kalah, aku rontokkan habis gigi kau itu!" pekik Ilman yang sepertinya sudah tak kuat menahan amarah.
"Loh, kenapa kau marah?" Rizki terkikik. "Katanya dia kapten tim basket? Seorang kapten tim basket tidak mungkin takut main satu lawan satu, kan?"
"Nih, kau yang serang duluan," ujar Rizki sambil melemparkan bolanya pada Naufal. "Ayo ke lapangan!"
"Aku hanya perlu cetak skor satu kali, kan?"
"Yak, betul. Itu pun kalau kau bisa melewatiku," jawab Rizki dari bawah ring basket. "Ayo! Kemarilah!"
Alih-alih berjalan masuk lapangan, Naufal malah langsung menekuk lutut, bola sudah siap di dalam genggaman. Dengan satu kali lompatan anggun, bola meluncur lepas dari kedua telapak tangannya, tinggi melengkung menghujam masuk ring tanpa suara.
Rizki melongo. Tentu saja, kawan, tembakan itu dilepas jauh dari sisi lapangan! Terlepas apakah itu kebetulan atau bukan, jelas Naufal sudah sukses membungkam tingkah angkuh Rizki barusan.
"Sekarang pulanglah," kata Naufal tegas. "Sekedar saran, temui ibumu malam ini. Mintalah beliau untuk mengajarkan kiat-kiat menghormati orang lain. Skill basket bisa dilatih, tapi topik tentang tata krama sepertinya lebih penting bagi kau untuk dipelajari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)
Historia CortaApa yang dilakukan anak SMA bengal saat bosan belajar? Minggat? Bolos? Berantem? Main game? Pacaran? They do more than that!!! Murid yang terkenal nakal di lingkungan sekolah, tidak lantas gagal di kehidupan nyata. Mereka punya ribuan kisah menarik...