Chapter 3 - Isi Hati Manusia (Lanjutan)

300 70 2
                                    

"Man, aku cicip yang punya kau dong! Punyaku kurang segar nih--tidak enak!"

"Makanya Ji, jangan beli rasa yang aneh-aneh. Jus durian dicampur nangka dan pepaya mana mungkin enak di lidah, kan?" kata Ilman sambil mengulurkan jus jambu miliknya.

Aji nyengir.

Meskipun hari sudah sore, enam sekawan ini masih belum beranjak dari lokasi penggusuran. Mereka hanya pergi sebentar untuk mengisi perut di warung mie ayam, kemudian kembali untuk memperhatikan proses kejam itu hingga selesai. 

Selain karena kepo, mereka ingin tahu siapa yang benar dan siapa yang salah dari proses penggusuran itu. Kalau penduduk yang tertindas, pengacara hebat sekaliber ayahnya Dolphy pasti sedikit banyak bisa membantu. Akan tetapi, kalau penduduk di sana yang ternyata nakal, setidaknya mereka bisa mengambil satu atau dua hikmah hari itu.

"Kita bagi tugas saja ya untuk buat presentasi hasil wawancara tadi," kata Naufal. "Mungkin untuk--"

"Presentasi biar aku saja yang buat, kawan, toh tidak begitu rumit," potong Dolphy. "Barulah nanti saat maju ke depan kalian yang present."

"Itulah yang kusebut solusi pintar, Nak," komentar Dj sambil nyengir. "Buatlah dirimu berguna untuk kelangsungan hidup kita berbangsa dan bernegara."

"Daannn--tembok terakhir sudah runtuh," ujar Adyth memberi pengumuman. "Sekarang apa? Kita pulang?"

Naufal menatap kerumunan yang sekarang tinggal sepertiga jumlah semula. Sebagian besar penduduk sudah pasrah dan pindah mengungsi ke tempat saudara. Ada pula yang menetap sementara di aula kecamatan terdekat karena tidak punya tempat lain untuk menginap. Ujung-ujungnya kalau tidak pulang kampung, ya terombang-ambing di jalanan kota.

"Kita ikuti orang itu," kata Naufal mulai melangkahkan kaki, kelima sahabatnya mengikuti dari belakang. Ia menunjuk seorang petugas penggusuran yang tadi menjadi sasaran emosi penduduk. Dibujuk, bahkan seorang Ibu sampai memeluk kedua kakinya sambil menangis.

"Kita hajar dia sampai bicara?" tanya Dj dengan penuh semangat.

"Memangnya kau pikir dia siapa? Pembunuh? Maling?" komentar Dolphy. "Dasar barbar!"

"Dia pembunuh hati penduduk, maling kebahagiaan orang," Ilman membalas.

"Kan sudah kubilang, belum tentu yang salah itu pihak penggusur loh," timbrung Naufal. "Kita tidak boleh asal menuduh seseorang kalau tidak ada bukti. Main hakim itu bukan hanya soal fisik, verbal juga masuk hitungan."

"Apalagi zaman sekarang, konten apapun gampang sekali diviralkan," tambah Adyth. "Kau rekam saja Ilman duduk merenung di trotoar, upload dengan judul 'Kasihan! Anak Malang Dibuang Orang Tuanya Karena Terlalu Sering Minta Jajan', yakinlah hanya butuh 24 jam sampai video itu dapat ribuan share."

"Dari sekian banyak contoh yang bisa kau buat, kenapa harus aku?" tanya Ilman protes.

"Dari sekian banyak contoh yang bisa aku buat, hanya kau yang enak untuk dijadikan objek penghinaan," jawab Adyth sambil tertawa. Sontak yang lain ikut tertawa geli meskipun Ilman harus mengerutkan wajah karena kesal.

Petugas yang mereka buntuti mendadak berhenti berjalan. Ia menoleh ke arah sebuah mushola yang kini kosong tidak ada orang, melirik sebentar jam tangannya, lantas kemudian melangkah masuk setelah sempurna melepas sepatu.

Six Elves mengendap untuk mengintip apa yang petugas itu lakukan: mengambil air wudhu kemudian menunaikan solat.

"Masih punya hati, toh?" komentar Ilman ketus.

"Kunci mulutnya, J," perintah Naufal. "Jangan lepas sampai ia paham cara menjinakkan lidah."

Tanpa basa-basi Dj langsung membekap mulut Ilman sembari mencengkram lehernya dari belakang. Ilman meronta, tapi Dj tidak mau kalah kuat.

"Amp ... nn ... A ... unn ... al!!!"

"Cukup, terima kasih."

"Huaaahhh," gumam Ilmam setelah ia kembali bebas. "Aku tidak bisa nafas loh tadi!"

"Pssst! Diam, Man. Nanti ketahuan!" tegur Adyth.

"Orang itu menggumamkan sesuatu," kata Aji saat ia melihat si petugas Satpol PP itu mulai menengadahkan tangan. "Mau aku tirukan?"

"Kita dengar saja langsung. Ayo, lewat sini!" kata Naufal sambil membuka sepatu. Ia memimpin kelima temannya untuk masuk ke tempat wudhu pria, tepat di bagian kanan mushola. Enam sekawan ini berjalan merangkak penuh hati-hati, agar pijakan tidak menimbukan suara--agar petugas itu tidak menyadari ada enam remaja kurang kerjaan sedang menyelinap hendak menguntit.

Beruntunglah dinding mushola itu tidak terlalu tebal, suara si petugas kini terdengar jelas di telinga enam anak nakal itu. Ya, suara rintihan seorang hamba yang sedang mengadu sambil menangis kepada Tuhannya.

"Ya Allah, Engkau lah yang Maha Tahu sebab penggusuran ini bukanlah karena kezaliman. Ya Allah, hambamu ini hanya makhluk hina, yang tak berkutik saat ditugaskan, yang hidupnya sia-sia tenggelam oleh cengkraman dunia. Hambamu ini tidak takut dengan manusia, pun tidak takut dengan bencana. Tapi Tuhan, tatkala nama-Mu di pekikkan ke angkasa, hancur luluh tubuh dan tenaga hamba. Hamba takut akan murka-Mu. Dosa hamba yang lalu masih menggunung tinggi, dan sekarang hamba sudah dilaknat oleh hamba-hamba-Mu yang lain. Ya Allah, hamba takut siksa neraka-Mu. Takut pula peluh lelah ibadah ini belum pantas untuk menjadi kunci menuju surga-Mu. Ampuni hamba Ya Allah, ampunilah hamba. Berikanlah mereka yang tergusur ini hidayah-Mu yang paling indah, rejekimu yang paling luas, dan angkatlah derajat mereka melebihi siapapun akibat kesabaran mereka yang luar biasa."

Basah pipi petugas itu oleh air mata, baru kering diseka saat sempurna selesai berdoa. Langsung pergi enam sekawan ini sebelum sempat si petugas bangkit dari duduknya.

"Kau dengar sendiri kan, Man? Masih berpikiran kalau orang itu jahat?"

Ilman menggeleng pelan, air matanya kembali menetes. "Kau benar, Fal. Kita memang tidak boleh menghakimi seseorang begitu saja."

Naufal tersenyum. "Menghakimi seseorang merupakan hak milik Tuhan,  Man--bukan kapasitas kita. Makanya mulut ini harus dijaga agar jangan asal bicara, karena kita bukan Tuhan yang mengetahui kebenaran isi hati manusia."


Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang