Chapter 19 - Perkelahian Mental

189 54 2
                                    

"Ma, lihat gear pelindung kepalaku tidak?"

"Carilah dulu yang betul di dalam laci lemari kamar! Kau kan sudah lama tidak pakai, mungkin terselip di bagian belakang!"

Sudah tiga kali bahkan Adyth mengorek isi lemari, tetap saja tidak ketemu barang yang ia cari. Menyerah dia, duduk beristirahat di pinggir kasur dengan mata yang masih keliling mengamati di mana kira-kira barang itu tersembunyi.

Tadi pagi, ia dapat telepon dari Naufal—permintaan agar Adyth sudi datang ke rumahnya siang itu untuk berlatih bela diri. Sang kapten sepertinya betul-betul mengambil hati kejadian pengeroyokan yang dia alami, merasa sudah saatnya bagi dia untuk kembali mempertajam kemampuan berkelahi.

Ibundanya masuk kamar, menatap pilu anaknya sambil tentu menahan tawa. "Belum juga ketemu?" Adyth menggeleng pelan. "Duh, kau ini—mencari barang pun tak becus, bagaimana mau cari wanita? Pantas saja sampai sekarang tidak punya pacar," duduk ibunya di depan lemari, gantian mengorek lembaran pakaian yang sudah setengah berantakan. "Mau latihan sekeras apa pula kalian itu memangnya? Sampai-sampai harus memakai pelindung kepala."

"Latihan tarung, Ma."

"Mau lawan siapa memangnya? Seumur-umur, kau kan belum pernah kalah urusan berkelahi. Kalau tidak akan kena pukul, kenapa harus pakai pelindung?" keluh si Ibu. "Nih! Ada, kan? Mama bilang juga apa, terselip di belakang lemari!" Dilemparkannya pelindung kepala itu kepada Adyth. Anaknya melongo—heran kenapa bisa ketemu oleh si ibu. Berani sumpah dia sudah periksa tiap jengkal laci itu dengan seksama.

"Eh, tapi perlu dua, kan? Satu lagi disimpan di mana ya? Waktu itu dipakai Papa satu di—"

"Tidak usah, Ma, cuma perlu satu kok!" Adyth memadatkan pelindung kepalanya ke dalam tas. Berangkat ia kemudian setelah mencium pipi si wanita mulia.

Six Elves tentu mengakui betul kemampuan bela diri Adyth ada di batas ambang maksimal. Ditambah tubuhnya yang tinggi besar dan berotot, jauh melebihi normalnya remaja Indonesia, Adyth seringkali jadi andalan terdepan urusan perkelahian. Itu juga kadang yang jadi alasan kelompok atau sekolah lain tidak ada yang berani bersenggolan langsung dengan Six Elves. Jangankan satu orang, lima sekaligus pun Adyth sanggup.

Kemampuan macam ini jelas bukan semata-mata hadiah dari Illahi. Sejak umur tiga tahun, Adyth sudah keras dilatih oleh bapaknya yang seorang marinir. Ya, kau membacanya dengan benar, kawan: sejak umur tiga tahun. Di umur segitu, menyebrang jalan pun kita harus digendong. Sementara Adyth balita, sudah sanggup lari maraton tanpa bantuan. Tidak normal? Betul—bahkan kalau kau ingat-ingat, semua anggota Six Elves mana ada yang normal.

Berkah demikian besar tidak hanya membawa keuntungan, tapi juga beban besar bagi nurani dan mental. Contohnya saja sekarang, kejadian langka yang Adyth temukan begitu ia melangkah keluar dari pagar rumah.

Seorang bocah laki-laki, tujuh tahun usianya—mungkin? Ah, itu tidak begitu penting, karena yang jadi perhatian adalah ia yang sedang lari kencang—sebungkus roti tawar ia cengkram erat, sementara di belakangnya belasan warga tengah mengejar sambil terus melepaskan umpat. Maling, maling—begitu pekik yang terdengar.

"Maling! Tangkap anak itu—tangkap!" seorang pria memerintah Adyth dari jauh.

Adyth bersiap meregangkan lengan, berusaha membuat arah lari si bocah tampak masuk dalam jangkauan tangan. Melihat ada laki-laki tinggi besar menghalau jalan, langkah si bocah lantas melamban, kepalanya berputar memikirkan cara agar bisa lolos dari penjagaan. Keputusan yang diambil pun cukup riskan: kembali lari kencang, lalu terobos dengan badan.

Tentu saja keputusan demikian gagal total. Meskipun sekuat tenaga bahunya dipakai menghentak perut Adyth, tetap ia merasa seperti sedang menghantam batu sungai. Terhuyung jatuh badannya ke tanah, terperosok makin bawah ketika ditambah pukulan warga yang sedang penuh dengan amarah.

Catatan Hitam Putih Kehidupan (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang