BAB 5: Jawaban

636 105 14
                                    

Baru saja ditinggal mengambil kopi di pantry, meja kerjanya sudah di invasi Kaizo. Pemuda itu masih mengenakan pakaian olahraga—padahal kelasnya sudah berakhir berapa jam lalu—beserta semerbak bau matahari yang menempel di kaosnya.

“Mau kopi?” tanya Shielda basa basi, tetapi malah dijawab oleh lirikan mata Kaizo yang setajam silet. Shielda menepuk jidatnya sendiri. “Nggak usah ngamuk. Aku lupa, ok.”

Kaizo mengetuk-ngetuk permukaan meja kerja Shielda dengan pulpen, sedangkan matanya menatap ke arah lain, seolah sedang menerawang ke suatu tempat nun jauh di sana.

“Ada masalah?” Shielda tahu ini pertanyaan bodoh. Tentu saja ada masalah. Kalau tidak, pemuda itu tidak akan ada di sini sambil berpikir—entah apa itu—karena merasa ruang kerjanya tidak menyediakan privasi baginya.

“Diam dulu.”

“Jo, tahu nggak? Kamu kesini, ruangan ini jadi bau.”

Kaizo kembali melirik sinis. Pekerjaannya setiap hari memang tidak akan lepas dari bau keringat dan perkataan gadis itu cukup membuatnya tersinggung, apalagi Shielda terang-terangan menyemprotkan pengharum ruangan beraroma jeruk di depan wajahnya.

Shielda puas mengendus ruangannya yang sekarang beraroma kopi dan jeruk, meskipun agak absurd, setidaknya bau keringat Kaizo sudah tertutupi. Daripada mengusir Kaizo—yang sepertinya tidak mempan diusir dengan cara apapun, Shielda memilih duduk di pinggiran tempat tidur yang terletak di belakang meja kerjanya. Tirai putih yang menjadi sekat dibuka agar tidak terlihat pengap.

Kaizo memutar kursinya menghadap Shielda sambil bersedekap, dan punggungnya bersandar pada sandaran kursi. Kemudian Kaizo berkata, “Barusan anak-anak kelas E menemukan akses ruang bawah tanah.”

Shielda menyemburkan kopi yang baru saja diminum, dan terbatuk. Cairan hitam berceceran di lantai. Kaizo bersyukur dalam hati karena berhasil memindahkan kakinya tepat sebelum kopi yang diminum Shielda berubah menjadi hujan lokal.

“Apa?”

“Mereka menemukan aksesnya.”

“Bukan itu maksudku, kok bisa?”

Kaizo angkat bahu. “Saya tahu dari Nut. Dia bilang, Lily memblokir akses di kelas. Sekarang lagi diprogram ulang.”

“Salah tiga kali?”

“Lebih dari tiga kali.”

Pantas, Shielda bergumam. Shielda cukup tahu jika Lily diprogram hanya mengizinkan tiga kali kesalahan, lebih dari itu Lily akan memblokir akses siapapun yang mencoba masuk, meskipun itu pemilik sidik jari yang terdaftar. Dan lagi, anak-anak kelas E yang menemukannya, pantas saja mood Kaizo jadi jelek.

“Kamu udah kasih tahu mereka soal ruangan itu?”

“Belum. Saya cuma mampir sebentar, kepala sekolah langsung memanggil.”

“Ah, dia pasti kegirangan. Kalau terlanjur begini, mau nggak mau kita terpaksa ikut alur yang mereka buat.” Dua jari Shielda membuat gerakan menyerupai tanda kutip saat menyebut kata mereka.

“Saya tahu, tapi ini terlalu cepat.”

“Mau gimana lagi. Kita udah berusaha ngulur waktu, tapi siapa yang bisa prediksi kenyataan? Lagian, kalau anak-anak itu dibuat penasaran, bukan nggak mungkin mereka bakal cari tahu sendiri, dan itu pasti lebih ngerepotin kita semua.”

Ucapan Shielda memang ada benarnya, tetapi Kaizo benci mengakui hal itu.

~o0o~

Bel pulang berbunyi bersamaan dengan tugas bahasa Inggris mereka yang rampung. Para penghuni kelas E duduk berkumpul melingkari dua meja yang disatukan. Mereka sepakat untuk mengerjakan tugas itu bersama-sama agar cepat selesai, meskipun tetap diluar ekspektasi, karena pengerjaannya diwarnai adu mulut dari beberapa penghuni hanya karena hal sepele.

E ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang