Bab 11: Garib

525 87 18
                                    

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari, jalanan lengang, kendaraan hampir tidak ada yang melintas, dan tanpa teman bicara. Seharusnya Shielda sudah ada di alam mimpi sekarang, tetapi nyatanya dia masih duduk termenung sendiri di depan minimarket 24 jam; sejak Kaizo meninggalkannya begitu saja.

Kasir minimarket berwajah lelah—sebagaimana orang-orang yang bekerja sif malam—menegurnya. Gadis itu meminta ponsel yang ada di genggaman Shielda. Dia baru tersadar, lalu buru-buru mengucapkan kata maaf berkali-kali, tak lupa memberikan beberapa lembar uang sebagai pengganti pulsa yang terpakai. Guru olahraga berhati jahat itu bahkan meninggalkannya tanpa ponsel—walau sebenarnya itu salahnya sendiri meninggalkan ponselnya di dalam mobil.

Masih tiga jam lagi sebelum orang-orang mulai melakukan aktivitas rutin mereka setiap pagi. Mungkin nantinya dia bisa menemukan kendaraan umum atau taksi. Shielda menimbang-nimbang, apa dia akan kembali ke bumi perkemahan, atau langsung pulang ke rumah saja. Sepertinya opsi kedua terdengar lebih menyenangkan, meskipun berisiko dikatai makan gaji buta.

Ketika masih asyik terbengong, sebuah mobil berhenti di depan minimarket, wajah menyebalkan Kaizo muncul dari balik jendela, tangannya melambai-lambai, memberi kode agar Shielda segera masuk ke dalam mobil.

Pintu mobil ditutup tanpa perasaan, Kaizo melirik Shielda lewat ekor matanya. "Saya pikir kamu sudah pulang."

Shielda balas menatapnya sinis, lalu tangannya memukul-mukul pundak Kaizo menggunakan botol minum yang isinya tersisa setengah. "Ponselku ketinggalan di mobil, dasar jahat! Kamu pikir aku bisa minta dijemput orang lain pakai telepati, hah?"

"Maaf."

Setelah puas menganiaya teman sendiri, Shielda bersandar di sandaran kursi, kepalanya disandarkan ke pintu mobil.

Kaizo sudah berganti penampilan, dia memakai kaus polos lengan pendek berwarna merah terang. Agak sedikit aneh melihatnya dalam balutan warna cerah, mengingat pemuda di sampingnya lebih suka memakai pakaian berwarna suram. Sementara itu, kaus dan jaket bernoda darah sudah terdampar di jok belakang mobil.

Selagi Kaizo membawa mereka kembali ke bumi perkemahan, Shielda mengambil bungkusan plastik putih di atas dashboard mobil. Plastik itu berisi obat-obatan.

"Kupikir kamu kenapa-napa di jalan." Kaizo membalasnya dengan dengusan. "IGD Rumah Sakit Silika rame banget, ya? Soalnya kamu lama."

"Lumayan."

"Dokter bilang apa?"

"Pelurunya tidak mengenai organ vital, jadi proses pemulihannya tidak akan lama."

"Syukurlah."

Kaizo melirik Shielda sebentar, dia mengernyit karena gadis itu tiba-tiba tertawa kecil. Ketika ditanya, Shielda bilang, dia teringat kejadian lucu saat di minimarket tadi. Kaizo hanya balas bergumam, lalu kembali fokus mengemudi.

Shielda berhenti tertawa, lalu menarik nafas panjang. Laki-laki di sampingnya jelas berbohong. Shielda tidak menyangkal bahwa dia sempat khawatir terjadi sesuatu pada Kaizo di jalan. Dia cukup waras untuk tidak membiarkan seseorang dengan luka tusuk dan tembak berkeliaran sendirian sambil mengendarai mobil, tetapi seseorang yang terluka itu justru lebih tidak waras.

Karena itu dia meminjam ponsel kasir minimarket untuk menghubungi salah satu temannya di Rumah Sakit Silika, memastikan Kaizo datang, dan minta dijemput temannya itu seandainya Kaizo sudah tiba di sana.

Sayangnya, jawaban temannya adalah apa yang tidak pernah terpikirkan oleh Shielda. Batang hidung Kaizo tak pernah muncul di Rumah Sakit Silika. Berkali-kali menelepon, berkali-kali pula dia mendapat jawaban yang sama.

E ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang