Bab 10: Perjusami

524 89 11
                                    

Trigger Warning: blood, violence, kill attempt.

.

.

.

Usai menempuh perjalanan selama kurang lebih tiga jam, para siswa tingkat pertama SMA Budi Asih akhirnya sampai di area start point. Dari area itu, mereka masih diharuskan berjalan selama lima menit untuk sampai ke tempat yang ditunjuk menjadi lokasi Perkemahan Jumat, Sabtu, Minggu tahun ini.

Bumi perkemahan yang digunakan berupa lapangan luas yang dikelilingi pepohonan setinggi puluhan meter dan berbatasan langsung dengan area taman nasional. Sehari sebelumnya panitia perkemahan sudah mengatur posisi tenda masing-masing kelompok. Lapangan bagian kanan digunakan kelompok perempuan dan lapangan bagian kiri digunakan kelompok laki-laki.

Tak lama setelah semua orang sampai, satu per satu kelompok mulai membangun tenda masing-masing, termasuk kelompok kelas E yang jumlahnya bisa dihitung jari. Sebetulnya, akan lebih efisien jika para siswa kelas E dimasukkan ke kelompok kelas lain, bukanya malah dibuatkan kelompok sendiri berisi tiga dan dua orang yang tampak konyol untuk seukuran kelompok perkemahan.

Ketika ditanyakan tentang hal itu, semua panitia kompak menjawab, "Tanyain aja ke Pak Kaizo."

Pada akhirnya mereka semua batal bertanya. Tidak ada gunanya menanyakan itu pada Kaizo. Mereka cukup yakin, wali kelas mereka tak akan memberi jawaban yang memuaskan. Dan hal itu membuat mereka harus menebalkan muka setiap kali kelompok lain melintas dan menatap lucu tenda kecil mereka yang diapit tenda-tenda besar di sebelahnya.

"Harusnya kita pakai tenda yang sama kayak yang lain, biar nggak jomplang," celetuk Taufan setelah tenda mereka berhasil dibangun.

"Terlalu gede. Kita cuma bertiga."

"Siapa tau kamu mau guling-guling di dalam tenda." Hampir saja Solar mencabut patok terdekat dan menusukkan benda itu ke lubang hidung Taufan.

Sebelum melanjutkan ke acara selanjutnya, mereka mendapat waktu istirahat sampai azan magrib berkumandang. Taufan sudah menggelar tikar di depan tenda, tak lupa mengajak Yaya dan Ying bergabung bersama. Kelimanya duduk melingkar, di tengah-tengah mereka ada beberapa bungkus makanan ringan.

Taufan bilang, berkemah tak lengkap rasanya kalau tak bertukar cerita seram. Empat dari lima kepala mengangguk setuju dan Halilintar menjadi satu-satunya kepala yang tidak satu suara. Baginya, itu hanya kegiatan yang konyol.

"Halah, bilang aja takut, nggak usah banyak alasan," balas Taufan ketika Halilintar mengutarakan pendapatnya.

Solar ikut mendengus geli. "Payah."

"Siapa yang takut!?" Tak terima dikatai, Halilintar urung pergi dari sana, padahal dia sudah mengambil ancang-ancang. Lagipula, kalau pun pergi, dia tak tahu mau kemana.

Merasa tak ada yang pergi, Taufan mulai bertingkah layaknya pendongeng, intonasi suaranya sengaja dibuat serendah mungkin. "Kalian tau, di tahun kelahiran kita pernah ada berita heboh?" Empat kepala menggeleng pelan. Taufan berdecak, "Dasar kalian kurang up to date."

Sebelum benar-benar dipentung empat temannya, Taufan kembali melanjutkan. "Peristiwa itu terjadi diakhir tahun 2003 sampai pertengahan tahun 2004, ada banyak laporan orang hilang, khususnya dari kota-kota besar di Pulau Jawa."

Solar melipat kedua tangannya di dada dan mulai nyinyir. "Apanya yang seram? Dari zaman dulu yang namanya orang hilang pasti ada."

"Makanya dengar dulu sampai selesai. Ini baru opening ceritanya," gerutu Taufan sambil mencomot makanan ringan. "Yang bikin aneh, semua orang yang hilang itu ibu-ibu hamil. Aneh kan kalau ada ibu-ibu hamil hilang berjamaah? Tapi polisi kesusahan cari pelaku, bukti-buktinya kurang. Karena itu, polisi menduga ini ulah mafia, atau kelompok radikal, atau bisa jadi ulah teroris.

E ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang