Bab 6: Gimnasium Bawah Tanah

576 103 9
                                    

Kelas satu sekolah dasar, masa-masa peralihan dari taman kanak-kanak, di mana semua jadi lebih serius dari biasanya. Tidak ada kegiatan bernyanyi sebelum masuk kelas, bahkan sudah jarang ditemui anak-anak yang berlarian di dalam ruangan seperti cacing sawah. Semua duduk diam di kursi masing-masing, berusaha fokus meski hanya bertahan pada lima belas menit pertama.

Hari ini cukup berbeda. Ketika pagi itu Halilintar masuk ke kelas, semua orang panik berlarian keluar sambil berteriak ketakutan, seakan sedang terjadi penyerangan besar-besaran oleh sekelompok orang jahat. Sampai bel berbunyi, tak ada yang mau masuk kelas. Beberapa memilih mengintip dari balik pintu dan luar jendela, sebagian lain bersembunyi di balik guru yang hendak mengajar.

Di depan papan tulis, Halilintar melihat sebuah gambar aneh. Gambar sesosok monster jelek yang terbuat dari kapur putih yang digambarkan bisa memancarkan listrik ke segala arah. Ada satu garis yang membentuk tanda panah mendekati tulisan 'Halilintar' yang setiap hurufnya seolah ditulis menggunakan cakar ayam.

Ibu guru yang dikenal tegas dan galak memarahi anak-anak yang masih di luar kelas, tetapi kemarahan itu tak cukup membuat mereka menjadi anak manis yang penurut. Yang ada malah membuat seorang anak laki-laki di luar kelas berteriak dengan berapi-api.

"Halilintar monster, Bu! Bisa nyetrum!"

Beberapa anak lain di luar mengangguk-angguk, menyetujui kalimat itu.

Halilintar bergeming, telapak tangannya tiba-tiba terasa dingin dan berkeringat. Tatapan ketakutan mereka membuat jantungnya berdegup lebih kencang, rasanya dia kesulitan bernapas, seolah ada batu yang menyumbat paru-parunya.

"Aku bukan monster," bisiknya lirih, tetapi Halilintar tak yakin mereka bisa mendengarnya.

"Semua orang udah tahu."

Halilintar menoleh ke belakang, mendapati empat penghuni kelas E menatapnya dengan pandangan berbeda dari biasanya. Mereka berbisik-bisik sambil tertawa melihatnya, bukan jenis tawa yang menyiratkan kelucuan.

Kemudian Halilintar terbangun.

Azan subuh sedang berkumandang saling bersahutan. Meskipun sudah membuka mata, mimpi yang baru saja dialaminya seolah terlukis di langit-langit kamar. Mimpi barusan pernah dialaminya ketika sekolah dasar. Itu sekolah kedua, atau ketiga yang pernah dia masuki. Halilintar tidak begitu mengingatnya dengan jelas.

Halilintar mengusap wajahnya kasar, berusaha mengenyahkan kenangan pahit itu. Adu mulut kemarin membuat kenangan yang selama ini dikubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan, dan sekarang berputar-putar dalam pikiran. Cara buruk dalam mengawali hari.

Entah apa yang merasukinya, selepas salat subuh Halilintar keluar rumah, berjalan-jalan tanpa alas kaki di sekitar kompleks perumahan, mengitari blok demi blok. Bukan untuk melakukan terapi pijat refleksi kaki ala sobat miskin, tetapi dia memang tidak menemukan sandalnya di mana pun, dan terlalu malas grasah-grusuh di pagi hari hanya demi mencari sepasang sandal.

Alasan sebenarnya, karena Halilintar belum mau bertemu Gempa pagi ini. Pasti akan sangat canggung kalau dia ada di meja makan saat sarapan.

Halilintar tahu sebesar apa usaha Gempa untuk bisa masuk ke SMA Budi Asih. Karena itu, ketika dirinya ditawari sekolah formal lagi, awalnya Halilintar tak mau satu sekolah dengan Gempa. Sebab Halilintar tahu kehadirannya hanya akan mengacaukan semuanya.

Namun, Mama malah memintanya mendaftar di sekolah yang sama dengan Gempa. Selama ini mamanya tak pernah menuntut apapun. Maka ketika satu permintaan meluncur darinya, Halilintar merasa tak sanggup menolak.

Tanpa sadar, langkah kaki membawanya gerbang kompleks. Udara dingin berubah sedikit menghangat ketika matahari mulai menampakkan diri dari ufuk timur. Harusnya sekarang dia sedang bersiap ke sekolah, tetapi Halilintar tak berminat melakukan itu.

E ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang