TW: Blood
Ketika pintu kelas hendak dibuka oleh Solar, pintu itu sudah lebih dulu terbuka. Mereka menemukan Taufan berdiri di ambang pintu, dengan earphone menyumbat kedua telinga, dan satu tangannya menggenggam gagang pintu. Senyumnya mengembang sempurna dan santai seperti biasa. Tidak ada jejak kesedihan yang kemarin tercetak jelas di wajahnya.
"Hey yooo kalian berdua!" sapa Taufan kelewat riang.
Gempa dan Solar berdiri mematung, lalu pandangan mereka saling beradu, seolah sedang melontarkan pertanyaan yang sama. Apa Taufan mendengar apa yang mereka bicarakan?
Sekilas Solar melihat bahu Gempa sedikit terangkat, lalu Solar berdeham ketika Taufan melangkah santai ke mejanya, mencari-cari sesuatu di kolong meja.
"Ngapain kesini?"
Taufan tak menjawab pertanyaan Solar, tetapi tangannya masih sibuk mencari-cari sesuatu, lalu wajahnya berubah semringah saat menemukan buku di kolong mejanya.
Gempa berinisiatif mendekat, tangannya mengetuk-ngetuk meja beberapa kali. Saat Taufan menoleh, tangannya ganti menunjuk telinganya sendiri. Sadar pada apa yang coba Gempa katakan, Taufan langsung melepas earphone yang masih menyumbat telinganya.
"Ada apa, Gem?"
"Ngapain kesini?" serobot Solar tak sabar.
Taufan mengernyit, lalu pandangannya mengedar ke seisi kelas. "Ini kelasku. Kenapa? Aku nggak boleh kesini?"
Gempa menepuk pundak Solar. Dia tahu Solar khawatir dan ingin cepat-cepat tahu apakah Taufan mendengar obrolan mereka atau tidak, tetapi bukan begitu caranya. Malah apa yang diucapkan Taufan ada benarnya, justru seharusnya Gempa yang mendapatkan pertanyaan itu.
Melihat mereka berdua tak lagi bicara, Taufan kembali melihat-lihat isi buku yang ditemukan sembari bertanya, "Kenapa kalian kelihatan panik?"
"Siapa? Kami nggak," jawab Solar.
"Abisnya pertanyaannya aneh. Pasti takut aku dengar rahasia kalian kan?"
"Rahasia apa?" tanya Gempa sambil tertawa kecil, pura-pura tak tahu. Sejujurnya, mendengar Taufan mengucapkan kata 'rahasia' saja sudah membuat Gempa sedikit waswas.
"Kayaknya diam-diam kalian mau kerjasama buat ngalahin Yaya dan Ying, kan? Kan? Tenang aja, aku nggak akan bilang ke mereka. Siapa tau abis itu kamu naik pangkat jadi anak Bukan Buas Biasa juga. Bosen juga aku lihat tiga orang itu-itu aja." Taufan tertawa renyah.
Gempa ikut tertawa, kali ini tampak kelegaan di wajahnya. Gempa mungkin berpikir Taufan benar-benar tidak mendengarkan obrolan mereka, tetapi Solar memilih tidak percaya omong kosong yang keluar dari mulutnya.
~o0o~
Solar punya alasannya sendiri ketika dia memilih tidak memercayai ucapan Taufan. Sulit baginya untuk memahami jalan pikiran anak itu, menebaknya pun tidak semudah membaca koleksi buku miliknya. Solar ingat, pernah ada satu kejadian yang melibatkan Taufan menjelang akhir tahun kedua mereka di SMP, beberapa bulan setelah kematian Duri.
Saat akhirnya Solar bisa kembali bersekolah, rumor tentang dirinya yang berada di lokasi kejadian sudah menyebar. Beberapa anak dari klub mading dan anak-anak lain—termasuk Taufan—yang penasaran selalu menanyakan kejadian itu setiap ada kesempatan.
Solar yang berusaha mengubur kenangan buruk itu seolah dipaksa mengingatnya setiap hari. Hingga akhirnya di hari ketujuh, dia sudah tak tahan lagi. Di depan kelas, di depan semua anak, Solar menumpahkan segalanya. Kesedihan, kemarahan, dan penyesalan tumpah ruah seperti air bendungan yang jebol dari tanggulnya. Setelah itu, tidak ada lagi yang bertanya, tidak ada lagi yang mengganggu, dan tidak ada lagi yang menyebut-nyebut nama Duri.
KAMU SEDANG MEMBACA
E Class
FanfictionSelamat datang di kelas E, kelas yang menempati ruangan dengan banyak lukisan dan topeng-topeng, letaknya paling pojok dan jauh dari jangkauan siswa lain. Mau tahu yang lebih aneh? Kelas E hanya berisi lima orang dan Halilintar menjadi salah satunya...