Bab 9: Lorong-lorong Gelap

529 94 13
                                    

"Halilintar out! Over," ucap Solar saat menggunakan handy talkie miliknya. Setelahnya, dia tersenyum miring sambil mengambil ban lengan milik Halilintar, lalu meniup moncong senapannya dengan bangga. Solar kembali menelusuri lorong, mencari mangsa lain.

Suara Kaizo muncul dari handy talkie milik Halilintar, memberi petunjuk untuk keluar dari arena itu.

Di depan dinding cermin, Halilintar menemukan Taufan dan Ying sedang duduk-duduk sambil minum. Taufan melambaikan tangannya, meminta Halilintar mendekat, dan memberinya sebotol air. Tak jauh dari mereka, Kaizo menatap serius layar komputer yang menampilkan sebuah gambar labirin dengan dua titik merah yang bergerak-gerak dan berkedip-kedip.

Seminggu setelah kekompakan mereka dalam membolos dari kelas Kaizo, guru muda itu tak pernah lagi memberikan jadwal kelas. Dia lebih senang datang tiba-tiba seperti jelangkung, tak peduli anak-anak didiknya punya kegiatan lain.

Seperti hari ini, di jam terakhir, pemuda itu sudah menunggu di luar ruang kelas E, lalu mengajak mereka berlima bermain paintball di gimnasium, dengan peraturan yang dimodifikasi seenak jidatnya yang mulus.

"Hanya intermezo. Kalian pasti jenuh menjalani kelas tambahan bersama saya setelah seharian belajar. Sampai-sampai kalian bolos," sindir Kaizo setelah sampai di gimnasium.

Mendengar itu rasanya mereka berlima ingin menghilang dari muka bumi.

Setelah mengganti seragam dan memakai alat pelindung diri, Kaizo meminta kelima anak didiknya berkumpul di sudut gimnasium, setelah itu dia asyik memasukkan perintah-perintah tertentu ke dalam komputer. Dari pola kotak-kotak di lantai, muncul dinding-dinding besi setinggi dua meter yang membentuk labirin berpola khusus dengan dua jalan masuk.

Para penghuni kelas E mendadak lupa caranya berkedip. Kaizo tak pernah mengatakan bahwa pola kotak-kotak di lantai bisa mengeluarkan dinding besi. Mereka pikir itu hanya pola biasa.

"Perasaanku nggak enak." bisik Ying pada Yaya. Dia curiga Kaizo akan meminta mereka melakukan hal-hal aneh berkedok permainan paintball.

"Aku juga," jawab Yaya ragu-ragu.

Kaizo mulai membagikan senapan paintball, handy talkie, dan ban lengan; secarik kain berisi nama para penghuni kelas E yang harus dipasang di lengan. Setelah itu, dia menjelaskan aturan permainan.

Tidak seperti permainan paintball biasa yang dimainkan beregu dan lokasinya di luar ruangan, dalam permainan kali ini mereka diminta mengincar satu sama lain, hingga hanya menyisakan satu dari mereka berlima. Labirin itu dilengkapi dengan pintu-pintu rahasia yang bisa digunakan sebagai jalan pintas. Sayangnya, pintu-pintu rahasia itu hanya bisa dibuka satu arah. Jika dibuka dari arah selain yang sudah diprogram, pintu akan tampak terkunci.

Sementara itu, handy talkie digunakan untuk mengonfirmasi kekalahan lawan, lewat benda itu, Kaizo akan membantu mereka yang kalah untuk keluar dari arena permainan.

"Lalu ban lengan untuk apa?" tanya Yaya.

"Untuk mengenali satu sama lain. Simpan sebagai bukti kalau kalian sudah mengalahkan lawan."

Mereka semua mengangguk-angguk mengerti.

"Kalau menang?" tanya Solar.

"Pemenang boleh minta apapun dari saya."

Mendadak Solar bersemangat. Dia langsung mengutak-atik senapan pemberian Kaizo, mencoba berbagai fitur bawaannya. Itu sinyal bahaya bagi empat siswa lain. Hobi Solar dalam bidang olahraga menembak sudah menjadi rahasia umum, senapan paintball bukan masalah baginya.

E ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang