“Loh, katanya empat hari, ini baru dua hari kok udah pulang?” tanya Mama begitu Halilintar muncul dari balik pintu rumah mereka. Tampangnya kusut, lingkaran hitam terbentuk di bawah mata setelah kemarin malam dirinya tidak bisa terpejam sama sekali.
“Ceritanya panjang,” jawabnya sambil berlari ke kamarnya.
Halilintar tak peduli pintu kamarnya terbuka lebar, kedua tangannya beringas mengacak-acak rak buku, mencari-cari sticky note berwarna kuning yang pertama kali menghantuinya. Satu per satu koleksi komiknya terbang seperti sekumpulan orang yang melakukan atraksi sirkus, melayang tak tentu arah ke segala tempat dalam kamar itu. Saat tidak ada lagi komik yang bisa diterbangkan, kedua tangannya beralih mengacak-acak rambut.
“Di mana?” tanyanya pada diri sendiri.
Kali ini Halilintar pindah ke buku-buku sekolahnya. Semua buku sekolahnya dibuka per halaman, tetapi tetap saja nihil. Kertas itu tidak ditemukan juga.
Lewat pintu kamar yang terbuka, Gempa memperhatikan tingkah kakaknya. Halilintar adalah seorang yang pelupa, itu sudah diketahui seluruh penghuni rumah, bahkan oleh tetangga sebelah. Maka tak heran sekarang dia tengah kalang kabut mencari sesuatu yang dia lupakan, meskipun kali ini ada andil Gempa di dalamnya.
“Cari apa, Kak?” tanya Gempa berbasa-basi, dia mulai bosan melihat pertunjukan buku terbang.
“Kertas. Aku selip di buku, tapi lupa buku yang mana.”
“Ini maksudnya?” Gempa menjepit sticky note kuning diantara jari telunjuk dan jari tengah. Namun, Halilintar tidak menoleh ke arahnya sama sekali. “Kak?”
“Nanti.”
“Liat sini.”
Halilintar menoleh, matanya membulat melihat apa yang dia cari ada di tangan Gempa. Tanpa sadar, intonasinya meninggi. “Kamu dapat dari mana?”
“Dari halaman belakang komik yang waktu itu aku pinjam.”
Halilintar ingat sekarang. Dia memang menyelipkannya di sana, pantas saja tidak ketemu. “Kenapa nggak langsung dikembaliin?”
“Maaf. Aku penasaran, MG2-072 itu apa? Siapa yang nulis ini?”
Pertanyaan itu hanya dijawab gelengan kepala. Halilintar kembali merapikan buku-bukunya yang berserakan. “Yang aku tau, Yaya juga dapat yang kayak gini. Mungkin besok aku mau tanya yang lain.”
“Jadi, ada kemungkinan anak lain di kelas E juga dapat gangguan yang sama?”
“Iya.”
“Omong-omong soal kelas E. Kenapa isinya cuma lima orang, Kak?”
Halilintar terdiam selama beberapa saat, seolah sedang memilih kata yang tepat. “Ada alasannya.”
“Apa?”
Ada jeda cukup lama. Halilintar teringat ucapan Kaizo di kelas, tetapi dia pikir, tidak apa-apa melanggar satu permintaan Kaizo sesekali. Lagipula Gempa bukan orang asing, dia adalah keluarganya, dan dia tahu kondisi Halilintar seperti apa. Tak perlu ada yang dikhawatirkan.
“Karena anak-anak kelas E beda.”
Gempa mengerutkan alis. “Beda kenapa?”
Kemudian Halilintar menceritakan garis besarnya pada Gempa. Tentang kenapa penghuni kelas E hanya berisi lima orang, tentang kemampuan Yaya punya tenaga yang kuat, Ying yang paling cepat, Taufan yang bisa mendengar pantulan suara benda disekitarnya, Solar yang bisa mengingat semua hal, dan kenapa mereka dikumpulkan di kelas itu.
Gempa tertegun, hampir tak percaya, tetapi mengingat kakaknya sendiri bisa mengeluarkan listrik dalam keadaan tertentu, dia yakin semua itu benar. Pantas saja saat kelas olahraga gabungan yang pertama, Taufan bisa menghindari lemparan bola dari Solar dengan mudah, padahal bola itu datang dari arah belakang. Kemudian setiap kali Gempa dan Solar ada di kelas konsentrasi yang sama, Solar selalu sibuk sendiri, jarang terlihat memperhatikan, tetapi ketika diberi pertanyaan, dia bisa menjawab sama persis dengan apa yang dijelaskan guru saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
E Class
FanfictionSelamat datang di kelas E, kelas yang menempati ruangan dengan banyak lukisan dan topeng-topeng, letaknya paling pojok dan jauh dari jangkauan siswa lain. Mau tahu yang lebih aneh? Kelas E hanya berisi lima orang dan Halilintar menjadi salah satunya...