Bab 12: Meluap Ke Permukaan

546 89 10
                                    

Pasca perkemahan yang gagal, Gempa mengamati tidak ada lagi yang mengganggu kakaknya. Seharusnya itu menjadi kabar baik, tetapi yang Gempa rasakan justru sebaliknya. Pikirannya penuh dengan prasangka buruk yang menebak-nebak kapan kejadian itu akan terulang lagi.

Tiga hari sudah Gempa selalu pulang terlambat. Bukan kegiatan ekskul yang menyita waktunya, melainkan akibat menunggu seseorang. Terkadang Gempa dengan sengaja mencari sudut-sudut tertentu tak jauh dari gerbang sekolah, kadang pula dia menunggu sambil membeli beberapa barang di toko alat tulis terdekat. Barulah pada hari keempat, Gempa melihat orang yang ditunggu-tunggu.

Seorang wanita yang pernah tak sengaja ditemui di depan kelas E kembali muncul dari gang kecil. Wanita itu memakai jaket merah tua dengan celana jeans tiga per empat, dan kepala tertutup tudung jaket. Tatapan menyelidik dilemparnya begitu dia melihat Gempa tiba-tiba datang memblokir jalannya. Kepalanya dimiringkan seraya tersenyum sinis. "Apa maumu bocah?"

Gempa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. "Bisa kita bicara?"

"Apa untungnya?"

"Nggak ada, tapi aku perlu bicara."

"Kalau nggak ada untungnya buat apa? Buang-buang waktu."

Wanita itu mendengus, lalu melanjutkan langkahnya dengan pelan, ketika bahunya sengaja beradu dengan bahu Gempa, saat itulah Gempa mengatakan bahwa dia tahu sedikit tentang identitas Halilintar. Seketika wanita itu menghentikan langkah, lalu berjalan ke arah sebaliknya tanpa banyak bicara. Gempa mengikuti langkahnya dari belakang. Mereka menyusuri gang kecil sampai tiba di sebuah kafe di ujung jalan.

Keduanya duduk di meja dekat pintu keluar. Wanita itu memesan secangkir kopi, segelas jus jeruk, scones rasa vanila dan macaron aneka warna. Saat pesanan datang, wanita itu langsung menyesap minumannya, lalu kedua tangannya terlipat di dada. "Seberapa jauh apa yang kamu tau?"

"Apa arti MG2-072?"

"Kenapa mau tau?"

"Karena ini menyangkut keluargaku."

Wanita itu tersenyum sinis. "Keluarga, ya? Bocah naif."

"Kenapa kalian mengganggunya? Di sekolah sampai di tempat perkemahan. Dia salah apa?"

"Daripada nganggur," jawab wanita itu sambil mengangkat kedua bahunya. Seolah perbuatannya hanya sekadar main-main.

Meskipun Halilintar tak berterus terang tentang apa yang terjadi saat malam perkemahan tempo hari, Gempa sudah bisa menebaknya sendiri. Bagaimanapun juga, luka yang dimiliki Halilintar terlihat tidak wajar, bahkan alasannya mengada-ngada. Gempa mengeraskan rahangnya, tangannya mengepal di dalam saku jaket.

"Aku bisa laporkan perbuatan kalian ke pihak sekolah."

Gempa terkejut ketika wanita itu tertawa terbahak keras sekali. Beberapa pengunjung kafe mulai memusatkan perhatian pada mereka, ikut penasaran dengan topik yang sedang dibahas. Pelan-pelan wanita itu menghentikan tawanya.

"Sekalian aja laporkan ke polisi. Bilang, Kikita yang mengganggu Halilintar." Wanita bernama Kikita itu merendahkan suaranya sebelum menambahkan. "Tapi, yakin laporanmu bakal ditanggapi? Aku dan dua temanku bahkan bisa keluar masuk SMA Budi Asih kapanpun kami mau."

Kedua alis Gempa menukik. Jika pihak sekolah sudah tahu hal ini, kenapa mereka mendiamkan saja?

"Bingung?" tanya Kikita lagi. "Aku nggak akan bosan mengingatkan. Nggak usah cari tau. Pura-pura nggak tau apa-apa malah lebih bagus. Ini bukan urusan anak kecil."

Kikita bangkit berdiri, tetapi ucapan Gempa membuatnya menghentikannya barang sejenak. "Tunggu! Kata kunci waktu itu ... sebenarnya tentang kelas E, kan? Ada apa dengan kelas E? Apa kalian juga mengganggu anak lain selain Halilintar?"

E ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang