Matahari bersinar cerah hari ini, bahkan kalah cerah dengan cengiran Taufan yang diobral sepanjang koridor. Tak lupa dia juga menyapa setiap orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Memangnya kenal? Tentu saja tidak. Dia hanya asal menyebut berbagai nama yang terlintas di pikirannya. Respons yang didapat cukup beragam. Ada yang cuek bebek, ada yang mengernyit, dan ada juga yang menatap seolah Taufan itu alien tersesat dari planet Atata Tiga.
Taufan tidak peduli, yang penting hari ini dia merasa senang. Usut punya usut, jam pertama hari ini adalah kelas olahraga, mata pelajaran favoritnya sepanjang masa. Karena, hanya dalam mata pelajaran olahraga, Taufan merasa tidak perlu memakai otaknya untuk berpikir terlalu keras.
Sampai di depan kelas, Taufan membuka pintu lebar-lebar ala tokoh utama kartun kalau sedang bahagia.
“Selamat pagi, mahluk fana!” sapanya pada para penghuni kelas yang jumlahnya tidak lebih banyak dari topeng-topeng di dinding.
Ada Solar yang khusyuk membaca buku—hanya dengan melihat ketebalannya saja membuat kepala Taufan mendadak migrain. Ada Yaya dan Ying yang asik bergosip tentang sains—yang terdengar seperti percakapan sehari-hari penduduk asli planet Atata Tiga. Terakhir Halilintar yang tidak melakukan apapun, selain bernapas dan menyembunyikan wajahnya di antara lipatan tangan di atas meja.
Taufan berjalan santai ke mejanya. Namun, matanya tak sengaja menangkap sebuah benda asing. Kemudian dia berjalan mundur sampai di depan benda itu dan mengerutkan alis saat melihat bayangannya sendiri.
“Kayaknya kemarin nggak ada deh,” ujar Taufan entah ditujukan untuk siapa.
Di depannya ada sebuah cermin berukuran 40 cm x 60 cm berbingkai kayu minimalis berwarna putih, menggantung tak jauh dari papan tulis. Taufan rasa, kelas E tidak kekurangan dekorasi. Ayolah, ada banyak benda bernilai seni di kelas ini Jadi, untuk apa menambahkan cermin?
Taufan menatap penghuni kelas satu per satu, berharap salah satu dari mereka ada yang memberinya penjelasan. Begitu padangannya bersirobok dengan Ying, gadis itu tiba-tiba menggerakan kepalanya ke arah Solar yang sedang asyik sendiri. Taufan melongo, tak paham sama sekali. Selain sering menggunakan bahasa penduduk asli planet Atata Tiga, Ying juga diketahui kadang-kadang suka berbicara menggunakan bahasa kalbu, sayangnya hanya bisa dimengerti oleh segelintir orang terpilih.
“Apaan sih?” protesnya.
Ying menggerakan bibir tanpa suara, yang bisa diartikan: punya dia. Tak lupa kepalanya bergerak miring beberapa senti ke arah Solar. Taufan baru paham sekarang.
Tiba-tiba Solar menutup bukunya. Sebelum keluar dari kelas, dia menyempatkan mematut diri di depan cermin; membenahi rambut dan kausnya.
“Dih, orang lain bawa cermin yang bisa dikantongin, bisa-bisanya dia bawa cermin yang bisa digantung seenaknya di dinding kelas. Ukurannya gede lagi. Kalau aku yang begitu pasti langsung didamprat guru BK,” cerocos Taufan setelah Solar pergi.
"Hidup emang nggak adil. Biasain diri, aja," celetuk Ying.
Taufan masih mencerocos dalam hati. Sepertinya aura cerahnya mendadak terserang masuk angin.
~o0o~
Bahkan sebelum bel masuk berbunyi, sudah banyak orang yang berkumpul di lapangan. Mereka adalah para siswa yang punya jadwal olahraga hari ini. Bukan karena rajin, tetapi karena takut diusir gurunya.
Walaupun sudah mendarat di sekolah itu setahun lalu, nyatanya pamor sang guru tidak juga lekang oleh waktu. Wajahnya yang mirip Kapten Amerika versi oriental membuatnya sering menjadi perbincangan panas, tetapi fokus perbincangan kali ini bukan pada wajahnya, melainkan karena kebiasaan on time-nya yang bisa membuat manusia malas mendadak punya semangat hidup, setidaknya hanya saat dia mengajar.
![](https://img.wattpad.com/cover/257495082-288-k631673.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
E Class
FanfictionSelamat datang di kelas E, kelas yang menempati ruangan dengan banyak lukisan dan topeng-topeng, letaknya paling pojok dan jauh dari jangkauan siswa lain. Mau tahu yang lebih aneh? Kelas E hanya berisi lima orang dan Halilintar menjadi salah satunya...