Selesai mengurus surat, tadinya mereka siap ke KUA. Sayang waktu habis hanya karena drama Oomnya Albi. Untungnya Pak Arendra memberi masukan agar Tala divaksin dulu. Karena beberapa KUA baru mau mengurus jika ada surat telah vaksin Tetanus.
"Ya sudah, kita ke bidan saja dulu. Kamu harus vaksin. Sebelum itu kita makan. Biar kuat," saran Albi ketika mereka berjalan keluar dari kelurahan.
"Disuntik?" tanya Tala dengan wajah pucat.
"Emang ada vaksin yang dimakan?"
"Adakah?"
"Itu vitamin, bukan vaksin, Bocah!" Albi menggetok kepala Tala.
"Ih, Kang Albi belum apa-apa sudah KDRT!" protes Tala mengusap kepalanya.
Albi menarik lengan Tala. "Mana yang sakit? Ini?" tanya Albi lalu mengecup kepala Tala yang tadi dia getok. Tala menunduk malu. Wajahnya merona merah.
Akhirnya mereka berhenti di warung masakan padang untuk makan. Warung itu tak jauh dari rumah Oom Albi dan sering Albi datangi dulu.
"Nasinya setengah ya, Pak?" pinta Tala pada pemilik warung yang menyediakan makanan.
"Iya, Neng. Lagi diet, ya?" tanya pemilik warung.
"Iya, Pak. Lauknya telur, rendang, ayam balado sama paru, ya? Terus itu apa?" Tala menunjuk kubangan kuah merah.
"Ini cincang, Neng."
"Iya, sama itu juga. Sudah." Tala mundur. "Kang Albi pesan gih," tawarnya lalu lekas jalan ke meja makan tanpa dipersilakan.
"Itu adeknya yakin lagi diet?" tanya pemilik warung.
"Itu calon istri saya, Pak."
Pemilik warung menepuk pundak Albi. "Saya kasih tahu, yang semangat kerja. Ngasih makannya susah."
Albi hanya nyengir dikatai begitu. Sudah kagok sampai sini, kalau mundur juga nggak mungkin. Mana kalung ibunya sudah di leher Tala. Kan kalau diambil paksa, lidah mereka bisa ketuker, kaya hoak zaman SD dulu.
Selesai memesan, Albi susul Tala ke meja makan. Mereka duduk berhadapan. Tala sudah siap membawa sendok dan tissue. Ia juga siapkan untuk Albi. "Kang Albi jangan takut, itu aku bayar sendiri, kok." Tala cukup tahu diri.
"Nggak usah. Makan di warung padang nggak semahal di hotel bintang lima. Paling juga masih di bawah seratus ribu."
Senyum Tala terkembang. "Beneran, Kang?" tanya Tala. Jemarinya mengetuk meja.
"Beneran. Ngapain bohong? Lagian abis ini kamu mau disuntik, kan? Harus banyak makan."
"Ya sudah, sebenernya aku nggak bawa uang. Cuman sepuluh ribu." Tala merogoh sakunya dan memperlihatkan ke Albi.
Jelas Albi tertawa. "Terus ngapain tadi kamu sok bilang mau bayar sendiri?"
"Formalitas," timpal Tala dengan bangga.
Pemilik warung akhirnya membawa makan mereka ke meja beserta air kobokan yang sudah diberi jeruk nipis.
"Ini air kobokan kok kelihatan lebih seger dari teh ujung tangkai, ya?"
"Tapi itu bukan minuman, Sayangku." Albi menarik wadah air kobokan takut Tala benar meminumnya.
Mereka mulai makan. Tala sama sekali tak memperhatikan Albi. Dia begitu khusyu pada sepiring nasi padang dengan lauk yang menggunung. Bahkan piring itu sampai bersih tak bersisa.
Selesai makan, mereka langsung mencari bidan terdekat untuk vaksin. Daftar di meja pendaftaran, mereka mendapat nomor antrean. Barulah Tala masuk ke dalam untuk disuntik. Awalnya berani, ketika melihat jarum suntik, dia langsung masuk ke kolong ranjang periksa. Jadilah Albi harus menariknya dan memegangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Sandal
Romantizm"Tala, mau nikah sama aku? Aku akan biayain kamu sama adikmu. Cuma satu, aku mau kamu buatin nasi goreng setiap pagi sebelum aku kerja," ungkap Albi di depan para tetangga dan ketika Tala sedang menjemur pakaian. Tala benci dengan Albi. Jika saja pr...