Penari di Tepi Senja

715 70 15
                                    

Penari di Tepi Senja

Jasmitha menatap selembar formulir lomba menari tingkat nasional, gadis berambut sebahu itu lagi-lagi menghembuskan nafasnya perlahan, memilih untuk melipat kertas tersebut dan memasukannya ke dalam tasnya. Dengan langkah yang mantap dia memasuki rumahnya.

"J pulang mah," teriaknya seperti biasa, gadis berambut sebahu itu kemudian menuju ke arah dapur tempat dimana dia mendengar sahutan dari mamanya.

"Tumben jam segini Mama udah masak," ujar J sambil mencuci tangannya.

"Hari ini kan ulang tahunmu dan almarhum ayah,"

J membulatkan matanya saat mamanya mengingatkan hari ini hari apa, dengan riang J memeluk mamanya yang sedang memotong beberapa sayuran dari belakang.

"Mama, J sayang Mama. J juga sayang Papa," ada nada rindu yang tergambar dari ucapan J. Gadis malang itu mengucapkannya dengan senyuman, tetapi sang ibu pasti tahu bila J begitu merindukan ayahnya.

"Kita makan keluarga malam ini ya, kalau kamu mau ngajak Bela atau teman kelas kamu yang lain juga gakpapa," J tersenyum lebar saat Mamanya mengatakan hal tersebut. Meski tanpa dia sadar Irgy diam-diam menekan sakit di hatinya untuk berusaha mengubah topik pembicaraan tentang ayahnya.

"Ya, aku akan ke rumah Bela setelah ini," wanita paruh baya itu menatap putrinya yang sedang berlari menuju kamarnya dengan senyum. Anaknya sudah menjadi gadis yang cantik, Irgy mengumamkan sesuatu ketika melihat senyuman Jasmitha yang begitu mirip dengan suaminya.

Seharusnya kamu lihat putri kita yang cantik Bram,

Siapa yang tahu bila disetiap kehangantan yang dipancarkan Irgy justru adalah caranya yang kokoh agar dapat menepis rasa amarah yang begitu dalam pada kehidapannya sendiri?

**

Setelah memberitahu Bela agar mengunjunginya malam nanti, Jasmitha tidak langsung pulang. Justru dia menuju ke sebuah padang luas yang letaknya tidak begitu jauh dari arah rumah Bela. Gadis yang gemar menari itu, memang diam-diam suka berlatih kemampuannya di tengan padang yang cantik. Gadis dengan rambut sebahu itu menghirup udara dalam-dalam sebelum pada akhirnya mengayunkan tangannya membentuk pola-pola tarian. Semburat sang surya yang menambah apik warna senja bak lampu sorot yang memukau menyoroti sang penari di antara padang rumput itu. Jasmitha memejamkan matanya, seakan membentuk nada-nada music yang selalu mendorongnya agar terus bernari. Hingga tak sengaja kakinya tergelincir meski begitu dia belum sampai dia terhempas ke tanah, sudah ada tangan yang menopangnya.

Jasmitha terkejut, dan kemudian menmbuka matanya.

Siluet seorang pemuda nampak berada di depannya, dengan tangan yang masih memegangi pinggang Jasmitha sebab gadis itu hampir saja jatuh.

"Lanjutakan tarianmu," katanya lirih.

Kini tarian itu tidak lagi milik Jasmitha saja, gadis itu seperti terhipnotis dengan suara yang menyuruhnya kembali menari. Ayunan tangannya disambut dengan tanga besar milik pemuda itu, dengan gerakan gemulai Jasmitha mencoba kembali mengambil pola-pola tarian yang juga disambut dengan baik oleh pemuda itu. Dua manusia itu berputar-menari dengan begitu apik. Di bawah langit yang mulai memerah senja, dua manusia itu berhenti ketika mereka berdua terpaku pada gerakan terakhir. Dengan posisi lengan Jasmitha yang mengalun indah di leher sang pemuda, dan tangan pemuda yang menopak pinggang Jasmitha.

"Penari di batas senja, kau adalah penari hebat!" katanya membuat Jasmitha tersadar dan segar menegakan badannya kembali.

"Ba-bang Ru?"

"tarianmu begitu indah Jasmitha," kata Biru sambil tersenyum. Berbeda dengan Jasmitha yang justru mematung menatap netra Biru yang terlihat lebih indah ketika diterpa senja. Pemuda itu seperti mimpi bagi Jasmitha, mimpi yang tidak ingin dia akhiri sepanjang tidurnya.

AMEGA ANJANA (Kota & Rindu yang Didoakan)-Book 2 BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang