17. Nasihat Elvin

25 5 0
                                    

welcomee! seperti biasa yaa, kalau ada typo tandain ajaa;)

🍒HAPPY READING🍒

∆∆∆

Alvand POV.

Aku keluar dari mobil milik ayahku begitu tiba di garasi rumahku. Sebenarnya, saat berangkat menuju puncak tadi, mobil yang kami gunakan adalah mobil milik Galen, tentu saja kami diantar oleh sopir pribadi Galen. Karena setelah mengantar kami, Galen meminta sopirnya untuk membawa mobilnya ke rumah. Mungkin karena sahabatku yang satu itu mengetahui jika kami akan pergi dalam waktu yang terbilang lama.

Setelah kami merasa puas karena sudah memanjakan mata akan pemandangan di atas sana, kami memilih untuk pulang. Dan, aku lebih memilih kakakku yang menjemputku daripada diantar oleh sahabatku. Yah, hitung-hitung memberi pekerjaan kepada kakakku yang sehari-harinya hanya menonton TV, makan, main game, dan tidur. Aku heran, apakah kakakku itu tidak merasa bosan? Bahkan, aku yang hanya melihatnya merasakan bosan setengah mati. Karena lagi-lagi hal itu-itu saja yang dia kerjakan.

Sebelum melangkah memasuki rumah, aku berjalan ke belakang mobil, tepatnya di bagasi mobil. Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam sana, tas ransel yang selalu kubawa setiap aku pergi mendaki ke puncak.

“Mau gue bawain gak?” tawar kakakku. Aku menoleh, kemudian menggeleng pelan.

“Gak usah, Bang. Gak berat juga, kok.”

Kakakku mengangguk. “Oke.”

Setelahnya, kakakku berjalan mendahuluiku yang membuatku mendengus kesal. Dia memang berbeda denganku. Jika aku adalah sosok laki-laki yang gila dan tidak waras, maka kakakku berbanding terbalik denganku. Dia sangat cuek dan seringkali bersikap bodoamat pada keadaan sekitar. Ya, walaupun begitu, setidaknya sikapnya terhadapku dan papa sedikit berbeda. Dia sedikit care jika menyangkut adik dan orang tuanya.

Aku memilih menyusul kakakku. Baru saja telapak kakiku memijak ke dalam rumah satu langkah dari pintu utama, ayahku menghampiriku dengan senyum merekah yang terpampang jelas di wajahnya yang tak lagi muda.

Ayah merentangkan tangannya, dan tentu saja aku membalasnya. Kami berpelukan dengan ayah yang menepuk pelan punggungku.

“Papa kira, kamu bakal nginep di puncak.” Ayahku menguraikan pelukan kami, lalu netranya menatap tepat pada netraku.

“Besok, 'kan, sekolah, Pa. Kalau besok libur sih, maunya gitu. Tapi bisa apa?”

“Harusnya kamu ke sananya sabtu sore aja.”

“Udah terlanjur, Pa. Lagian, Alvand juga capek kalau ke puncaknya hari sabtu sore. Masa baru pulang, udah jalan lagi,” gerutuku yang membuat Ayahku tertawa pelan.

Ayahku merangkul bahuku, lalu membawaku untuk duduk di kursi depan televisi. Aku menurut, karena jujur, aku merasa sangat lelah. Ketika kami dalam perjalanan pulang tadi, kami tidak sama sekali melakukan peristirahatan seperti pada saat kami berangkat mendaki ke puncak.

“Pasti tadi gak istirahat lagi, 'kan?” tanya Ayahku yang tentu saja tepat sasaran. Ayahku paham betul mengenaiku akan hal ini, jadi sudah tak heran jika beliau dapat menebak, dan tebakannya yang selalu tepat sasaran.

Aku mengangguk. “Lama kalau istirahat terus.”

“Emangnya kakimu gak pegal apa? Sini, Papa pijitin.” Ayahku hendak meraih kakiku yang memang sudah terasa sangat pegal. Namun, aku menahannya dan menggeleng.

“Gak usah, Pa. Nanti dibawa istirahat juga udah sembuh.”

“Pakein GPU, tuh. Dijamin sembuh.”

KEYRALVAND [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang