Bab 2

19.8K 3.8K 585
                                    

Seperti kata Mbak Nita, aku harusnya relaks. Ya, itu memang sangat mudah untuk dikatakan. Tapi pada prakteknya aku tetap terbebani setiap kali Lexus silver sudah terparkir di depan ruko.

He’s back! Bagaimana aku tahu? Karena dari sekali menyibak tirai saja sudah bisa melihat mobilnya. Oh ya, aku bukan bekerja di gedung perkantoran yang bertingkat-tingkat. Kantorku adalah tiga ruko tiga lantai dijadikan satu.

Aku berhenti mengintip, dan kembali ke pekerjaanku. Apa yang terjadi hari ini que sera sera lah.. whatever will be will be. Alias bodo amat, meski dalam waktu nggak sampai lima menit aku bakal ketemu dengan tampang sengaknya lagi. 

Dan seperti kata Mbak Nita juga, he’s nice, itu benar. Bahkan kasir dan admin di bawah  menggilainya. Secara fisik dia juga oke—dan aku sering kena toyoran Mbak Nita karena yang lain selalu bilang dia ganteng, sementara aku jawab B aja. 

Tubuhnya proporsional, dia juga tinggi banget, aku yang nggak pendek-pendek amat tetap sepundaknya. Hidungnya mancung, tulang pipi tinggi, mata sipit, alis hitam tebal, rambut gaya Andy Lau yang sering dia sugar ke belakang kalau lagi kesal, biasanya aku tandain dia pasti menyugar rambutnya sebanyak tiga kali kalau lagi marah, yang terkadang buat aku bertanya-tanya kenapa nggak dicepak aja kalau dia memang terganggu dengan rambutnya, atau sini deh, aku kucir aja sekalian.Dan, of course dia putih—banget. 

Kebiasaannya, pakai celana jins dengan kaus kalau tidak hitam ya putih. Aku bahkan hapal gaya jalannya yang lambat tapi langkahnya panjang, dengan tas selempang dan satu tas kanvas lain yang ditenteng. 

Para karyawan di sini sering mengaitkan sosoknya dengan boyband asal korea, yang tentu saja tak kugemari. Dan itu pula yang mendasariku mengatakan dia B aja, mungkin aku terdengar rasis, tapi di sini masalah selera, Koko bisa saja dianggap memesona oleh kalangannya, tapi aku penggemar pria dengan kulit agak gelap dan eksotis. 

Awal bertemu dengan Koko aku nggak punya feeling macam-macam. Eh... nggak tahunya, cerewetnya lebih parah dari Bu Susan! Yang sebentar-sebentar akan memanggil, “Aya!” sampai-sampai aku nggak tahu lagi apa jobdesk-ku di sini. 

Aku memang sudah ingin keluar dari masa Bu Susan masih bos di sini, karena apa? Karena di usiaku yang hampir menyentuh angka 28, ini satu-satunya pengalaman kerja yang kupunya. 

Aku bekerja di perusahaan percetakan ini nyaris enam tahun, dari sejak perusahaan mulai dirintis. Bu Susan adalah teman sekolah tanteku, begitu aku tamat kuliah, namaku langsung disodorkan ke Bu Susan karena kebetulan aku memang lulusan akuntansi. Dulu, omzet belum sebanyak sekarang, karyawan nggak sampai sepuluh. Bu Susan dan dua marketingnya gencar cari klien ke RS, sekolah, hotel, bank dan sebagainya, hingga omzet kami beberapa kali tembus 500juta per bulan. Dan dengan orderan yang meningkat, tentu saja, karyawan kami bertambah.

Dan Ko Daniel itu adalah anak kandung Bu Susan, usianya 30 tahun. Serius aku baru tahu Bu Susan punya anak di tahun ketiga aku bekerja di sini, aku kirain dia perawan tua yang memutuskan untuk nggak menikah. Waktu itu Ko Daniel datang dan Bu Susan ngenalin dia sebagai anaknya ke kami. Bu Susan ternyata sudah lama divorce dengan mantan suaminya, dari Ko Daniel masih bayi gitu katanya. Dan sejak junior high school, Ko Daniel sudah ikut dengan Papanya ke Singapura.  

Itu sebabnya logatnya campur aduk. Untung aku bisa paham sedikit-sedikit. 

Koko berada di sini untuk menggantikan Bu Susan. Enam bulan lalu Bu Susan jatuh di kamar mandi karena tekanan darah tinggi dan langsung stroke, nggak bisa berjalan dan bicara, sekarang sih katanya sudah bisa bicara, tapi masih terapi, dan masih menggunakan kursi roda. 

Aku masih sibuk dengan pekerjaanku ketika dia datang. Jika sudah berhubungan dengan angka-angka aku akan sulit beranjak dari kursi. 

Ada hal lain yang membuatku sadar akan kehadirannya selain pintu ruanganku yang terbuka, yaitu wangi parfumnya yang langsung memenuhi ruangan, untung wanginya enak, bukan wangi parfum bapak-bapak. Koko memang perlente abis, meski cuma mengenakan kaus, tapi kausnya tetap rapi, bersih, dan aku yakin dia juga pakai skincare rutin. Mungkin yang membedakan dia dengan bapak-bapak perlente lain cuma, dia nggak suka ganjen lirik-lirik cewek apalagi sampai main mata. Urusan merayu juga nggak mungkin kayaknya, mulutnya kayak bon cabe.

Dear Boss, I Quit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang