Aku dan Jani sampai duluan ke tempat janjian bersama dengan dua kurcacinya beserta suaminya—Mas Tian sekitar pukul enam lewat. Lebih tepatnya aku menebeng. Aku memang akhirnya booking tempat di restoran Ko Rei tapi bukan melalui kontak yang dikirimin Koko! Aku cari sendiri di instagram mereka.
Dan selama langkah masuk ke dalam, Jani sudah membisik-bisik, agar aku jadi juru foto keluarganya. Dasar.
Saat di dalam, aku nggak mungkin mengabaikan sosok Ko Reinold yang secara kebetulan melihatku. Mau lanjut jalan, ntar dikira sombong banget, padahal dari tatapannya Ko Rei terkesan sangat mengenaliku.
Ya udah deh, aku sapa aja. Aku menyuruh Jani dan suaminya lebih dulu ke meja booking di halaman belakang.
“Halo, Ko,” sapaku.
“Aya, kan? Saya lihat nama booking, dan benar kamu. Kenapa nggak minta kontak saya dari Chandra saja?”
Aku meringis, kalau sampai ini teman Koko laporan, mati aku! “Udah dapet duluan dari IG, Ko. Makin terkenal, gampang mah nyari kontak doang.”
Senyum Ko Reinold semakin lebar. “Makasih. Makasih,” sahutnya ramah. “Saya kasih dessert special nanti.”
“Ough... makasiiih Ko,” balasku mengulas senyum lebih ramah.
Sebelum aku menyusul Jani, Agus dan istrinya sudah lebih dulu memanggilku. Kami bertiga menuju meja pesanan. Kedua anak laki-laki Jani sudah heboh berlarian ke arena bermain anak.
Tak lama Darius datang dengan seseorang lainnya. Pria tampan yang kemudian dia kenalkan sebagai sepupunya.
“Jeremy,” sebutnya, menyalami kami satu per satu. Dan saat menemui giliranku, jabatan kami terasa lebih lama dari yang lainnya tadi, aku sampai memandangnya aneh, tapi dia tetap menampilkan senyum ramahnya. Sialnya aku nggak mengalami efek magis seperti di film-film. Aku justru risi diperhatikan intens seperti ini, seperti ada yang salah dengan tampilanku, dan dengan segera aku menarik tangan.
Aku bilang dia tampan karena memang kenyataannya begitu. Ibarat menemukan Nicolas Saputra dalam barisan upacara, semua orang pasti ngeh dia ganteng. Meski tampangnya bukan kayak Nicolas Saputra. Kulitnya agak gelap seperti tipeku.
Tubuhnya tinggi, tegap, proporsional. Tampilannya bersih dan klimis, meski hanya mengenakan jins dan kaus berkerah, jam tangannya kelihatan mahal, parfumnya juga. Ketika dia tersenyum pipinya memunculkan rahasia terpendam yang pastinya bikin cewek makin klepek-klepek dengan lesung pipi itu.
Aku mengalihkan pandangan saat yang terakhir Awan dan Mada muncul. Tampang Awan langsung terheran-heran. “Kampret! Jadi boleh bawa keluarga nih? Mad! Gara-gara lo ini. Tadi kan gue udah mau bawa pasukan, lo larang pake alasan ini khusus reuni.” Awan langsung ngomel-ngomel.
Kami serempak tertawa.
Yang paling kencang udah pasti Jani dan Agus.
“Tuh, makanya jangan mulut aja kayak keran bocor, otak juga dipake. Mayan makan malam gratis satu keluarga.” Jani langsung celingukkan ke belakang, memastikan sesuatu kalau tidak mau ditegur suaminya, suaminya yang sedang main dengan anak-anaknya pasti nggak mendengar.
“Azas manfaat beneran ibu satu ini!”
“Darius aja nggak marah kok, ya kan Yus?”
Darius mengacungkan jempolnya. Di antara kami memang Darius yang paling sukses karena memiliki gaji paling besar plus belum ada tanggungan pula.
“Lo, sih, Mad!” seru Awan lagi, masih terlihat sangat kesal.
“Udah, ntar minta bungkus aja satu porsi lagi,” kataku meledek.
![](https://img.wattpad.com/cover/278896271-288-k246310.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Boss, I Quit!
Romance[Tersedia di Karyakarsa dan Google playbook] Aku ingin merokok, mencicipi minuman beralkohol, mentato tengkukku biar terlihat keren seperti Shan Cai. Punya teman kencan. Ciuman yang membangkitkan gairah, and then, having sex jika memungkinkan. Tapi...