Bab 3

16.3K 3.9K 196
                                    

Ibadah telah selesai, tapi aku masih menunggu Mama bercengkerama dengan temannya. Aku membawa motor, jadi aku memutuskan menunggu di bawah pohon dekat dengan parkiran. 

Mataku menangkap orang-orang yang kukenali dari kejauhan pandanganku segera merunduk, dan berpura fokus menekuri ponselku.

Mereka di sana berjalan menuju parkir mobil. Mereka yang kumaksud adalah, keluarga mantan pacarku dan istrinya yang tengah hamil besar. Kami satu gereja. 

Dalam keadaan apa pun orang-orang akan menganggapku menyedihkan. Mau aku sedang cantik, sedang tidak dandan, sedang pakai baju olahraga ataupun sedang pakai kebaya. Pokoknya, sejak putus dan tidak melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan dengan Johanes aku tetap jadi perhatian. 

Statusku yang masih sendiri selalu dikaitkan dengan Johanes. Aku putus dengannya, dengan cara yang baik-baik, setidaknya, tak ada drama yang terjadi pada waktu itu. Tetapi orang-orang terdekat kami selalu beranggapan lain, maklum, kami berpacaran lebih dari tujuh tahun.

Aku dan Johanes sudah saling kenal sejak kecil, kami teman satu gereja, sering terlibat kegiatan keagamaan bersama, dan juga teman satu sekolah saat SMA, meski nggak satu jurusan. Dia juga sering main ke rumahku. Di tahun kedua SMA, dia mengajakku berpacaran, aku tahu tujuan kami saat itu hanya untuk asik-asik saja, supaya sama-sama nggak terlihat jomlo.

Secara fisik Jo biasa-biasa saja, nggak bisa dibilang tampan tapi juga nggak jelek, dia serasi denganku yang juga biasa-biasa saja. Hubungan pacaran kami layaknya teman, dan Mama juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri. 

Begitu lulus kuliah, aku bekerja di percetakan, sedangkan Jo menjadi honorer di BNN. Dia rajin mengikuti seleksi CPNS karena orang tuanya menuntutnya seperti itu. Berbeda dengan Mama yang santai-santai saja, anaknya mau jadi apa pun, asal aku nyaman. Karena Jo sering ikut seleksi, aku juga melakukan hal yang sama. Dan selama tes-tes itu dia sering menghabiskan waktu di rumahku untuk belajar. Dia tekun, sementara aku malas-malasan.

Jo lulus PNS kementerian. Dan waktu itu bodohnya aku, malah memupuk harapan kian tinggi. Aku malah berpikir muluk-muluk tentang kehidupan yang setidaknya terjamin jika Jo mempunyai pekerjaan tetap.

Kami nggak pernah berciuman di bibir, dia hanya sesekali mengecup dahiku. Kala itu aku sedikit kagum dengan kencan sehat kami. Setidaknya, dulu aku berpikir seperti itu, tapi setelah kupikirkan lagi saat ini, hubungan kami sama sekali nggak sehat. Jo selalu mengungkapkan impian-impian dan kemauannya, sementara nggak ada ruang tersisa untukku, untuk mengatakan apa pun yang kurasakan dan yang kuinginkan. Terlebih, Jo nggak pernah bertanya apa yang kumau. 

Jo selalu berhasil menempatkan dirinya sebagai sentral dalam hubungan kami. Ke mana pun tempat yang akan kami datangi adalah segala hal yang berkenaan dengan urusannya. Tetapi, waktu itu aku justru mendapati diriku semakin bertanggung jawab untuk mendukungnya. Aku selalu nggak enak hati jika mendapati Jo badmood, dan berkewajiban menghiburnya. 

Ketika Jo semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan intensitas pertemuan kami jadi berkurang, sedikit banyak, aku sudah punya firasat buruk.  Tapi aku masih berusaha menjalin komunikasi dengan menanyakan kegiatan hariannya, meski dijawab lebih singkat-singkat dari biasanya. 

Puncaknya, ketika Jo mendadak mengajakku makan malam. Dia memilih restoran, alih-alih tempat makan lesehan yang sering kami datangi. Waktu itu aku dijemput pulang kerja, dan sedikit menyesal kenapa tidak pulang ke rumah dulu untuk mandi dan berganti baju. 

Tapi setidaknya, apa yang Jo katakan selesai kami makan, membuatku nggak terlalu menyesali penampilanku waktu itu. Nggak terlalu mengenaskan mendapati diri bukan dalam pakaian dan penampilan terbaik saat ternyata aku diputuskan.

Dear Boss, I Quit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang