Bab 8

14.7K 4K 638
                                    

“Sudah, kan?”

Aku kontan menggeleng. 

Raut wajah Koko kembali ke mode kaku.

“Bukannya penjelasan saya tadi sangat jelas?”

Aku menahan geraman. “Tapi saya serius mau resign, Ko!” kataku tegas setengah kesal. Bodo amatlah, udah mau keluar ini juga.

“Serius mencari pasangan?” 

Aku sedikit tersentak, bukan itu! Tapi udah kadung basah. Ya udahlah. 

“Iya—“

“Apa kriteriamu?” potong Koko lagi.

Aku menarik napas, mendesah kesal. “Baik, setia, pengertian, punya pekerjaan.” Sialnya aku menyahut pertanyaan itu dengan cepat, ya mau bagaimana lagi, aku ingin mencapai ke inti percakapan secepat mungkin.

“Umum sekali.”

Asli ini orang sebiji beneran bikin emosi. 

“Kriteria lain?” 

Aku memutar bola mata. “Sehat jasmani dan rohani!”

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Telunjuknya juga ikut terketuk-ketuk di atas meja. Mungkin dia suntuk karena pengin ngerokok, sebab tatapannya ke arah asbak.

Keadaan itu berlangsung lumayan menguras waktuku, sementara lututku nggak berhenti bergoyang. Bisa aja sih, aku langsung pamit pulang udah setengah tujuh ini... tapi enggak. Aku menahan diriku sekuat tenaga, karena besok-besok belum tentu ada kesempatan seperti ini lagi.

Atau juga karena Koko udah tahu niatanku, bisa aja dia cari-cari cara untuk mengelak.

Tak lama, Koko menaikkan kepalanya—menatapku yang juga sedikit lebih lama. 

“Saya memenuhi semua persyaratan. Ya, menikah dengan saya, saja.”

Dunia sepertinya berhenti berputar. Atau aku tadi salah masuk pintu dan sekarang aku berada di alam lain? 

Tapi jika memang begitu mengapa tetap Koko sableng ini yang ada dihadapanku?

Aku benar-benar tak habis pikir. Dia mengatakan sebuah kalimat yang membuatku berhenti mengembuskan napas nyaris sesak napas. Sedangkan dia santai saja, tetap mengecek arus kas dan berbagai bon pembayaran hari ini yang kusodorkan tadi.

Sial banget memang aku, harus terjebak di situasi seperti ini. Nggak ada yang bisa kulakukan selain tetap tenang, meski hatiku rasanya gedek minta ampun.

Biar begini, aku juga pernah memikirkan skenario akan bertemu jodohku secara tidak sengaja di KRL, di mal, di pesawat, atau yang keren di kafe sambil lirik-lirikkan. Dan, ya, aku sadar betul itu mungkin hanya terjadi di drama.

Tapi seenggaknya bukan dilamar pria seperti deal-dealan ke klien kayak begini dong! 

“Kenapa diam?” Dia bertanya.

Kenapa diam katanya? Oh, sudah bagus sekali aku diam. Nggak melemparnya dengan botol minum di depannya, asbak, tumpukan kertas, kotak pensil, ponsel, Macbook—Ups, yang dua terakhir perlu diralat, bisa-bisa aku disuruh ganti rugi.

Tapi, ya, kenapa aku diam? Karena aku nggak tahu harus tertawa terbahak-bahak, atau tambah waspada karena takutnya ini jebakan. Karena dia paling seneng tuh, kasih pertanyaan jebakan ala-ala chef Juna.

Aku mengerjap, sekali. Oke, mungkin ini kesempatanku untuk berkata dengan keren, jika dia bukan tipeku, jika dia adalah satu dari pria yang akan kubiarkan mati jika hanya tersisa aku dan dia di muka bumi ini. 

Dear Boss, I Quit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang