Bab 15

21.3K 3.9K 897
                                    

Ini panjang. Harusnya ini kubagi jadi dua bagian, tapi ya udah deh. Upload aja.

Voment yang buanyaaak yaa...

.

.

.

"Haduh... Aya! Kalau begitu sih, udah jelas..."

"Jelas lo harus temenin gue beli anjing," balasku yang langsung disambut toyoran oleh Jani.

"Itu orang demen sama lo, gimana sih??"

"Calm down, please..." desisku yang enggan melirik ke sekitar karena udah pasti aku bakal malu.

Jani ngajak ketemuan di jam makan siang, di warung soto yang pasti padat orang di jam makan siang. Saat kutanya anak-anaknya ke mana? Dia bilang ini waktunya me time, dan anak-anak sedang dijaga Bapaknya. Dia bilang habis dari salon, sebelum dia koar-koar pun aku sudah tahu, tanpa sengaja tercium pun rambut Jani sudah semerbak wangi.

Aku sebenarnya nggak pengin curhat di tempat seperti ini, tapi mau bagaimana lagi, harus kuakui aku terganggu dengan percakapanku dan Koko terakhir kali, meski diakhiri dengan Koko yang bersungut-sungut jengkel. Tapi herannya itu nggak terbawa hingga keesokan harinya, dia profesional, aku juga bertindak sama sesungguhnya, namun aku iri jika dia nggak terganggu sama sekali. Aku hanya butuh kekuatan, jika tindakan dan logikaku sempurna untuk dijalankan. Aku nggak mau lagi melangkah berdasarkan perasaan nggak enakan.

"Jadi lo belom kasih kepastian apa pun?"

"Kok gue?" tanyaku balik dengan dahi mengernyit, mulai menyadari curhat ke Jani mungkin nggak tepat. Jadi ke siapa? Tanya batinku gelisah sendiri.

"Dia membuka diri ke lo, itu sesuatu yang... astaga Aya, lo tanya nggak ke dia, dia ada cerita begituan ke cewek mana lagi? Atau dia ada beri mainan anjing ke siapa lagi??"

Dahiku tambah mengernyit. "Buat apa?—Ah!" pekikku tertahan saat Jani lagi-lagi memukul lenganku. Aku tahu ini kebiasaan buruknya, entah dia lagi bahagia, ada gosip, atau sedih, lengan lawan bicaranya pasti jadi sasaran pukulannya.

"Ya lo harus cari tahu dong. Cerita istimewa itu cuma buat lo atau nggak??"

"Itu cuma cerita tentang anjing, apa istimewanya."

"Ampun deh Aya...." gemas Jani. "Bahkan pria yang ngaku mencintai belum tentu membuka diri. Lo mau nih, ada cowok yang tiap hari bilang cinta tapi nggak tahunya punya sederetan wanita lain. Mas Tian aja jarang bilang cinta. Ini si Koko lo itu bilang 'sayang' pula?? Itu artinya lo istimewa banget. Karena dia tahu rasa sayang adalah segalanya, sementara cinta bisa saja menghilang. Nih contohnya, gue sayang banget sama anak gue, gue bisa rela kehilangan suami misal dia selingkuh, tapi gue akan tetap sayang ke anak gue sekalipun dia ngelakuin tindakan kriminal," cerocos Jani panjang lebar.

Aku memainkan sedotan es teh-ku.

"Di mana-mana orang kalau mau dapat buruannya pasti melakukan segala cara."

"Terus di mana salahnya?" balas Jani. "Setiap orang yang mau mencapai tujuan harus punya strategi dong. Lo nething mulu tahu nggak?"

"Gue nggak mau pacaran."

"Maunya nikah aja? Tuh kan udah dilamar."

"Enggak... Gue, lagi nggak pengin punya pasangan."

"Kenapa?"

Aku menatap Jani sedikit lebih serius, nggak peduli dia bakal mengejek tanggapanku.

"Gue dalam wacana mau menikmati hidup. Gue nggak mau pacaran karena pasti balik lagi ke masa-masa itu. Membandingkan diri gue, apakah gue lebih layak atau nggak. Dan sebagainya. Dan gue nggak mau menikah dalam waktu dekat, entah juga dalam waktu lama. Kalau lo tanya alasannya, gue belum siap."

Dear Boss, I Quit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang