Aku sangat-sangat serius dengan niatanku resign kali ini. Jika Koko meminta one month notice, itu artinya sekitar paling lama satu bulan lagi aku masih menduduki kursi panas ini. Siapa pun penggantinya? Ah... siap-siap saja. Aku nggak akan kasih clue, malas!
Bolak-balik aku membuka tirai di belakangku, dan Lexus itu belum terparkir. Bagus! Satu lembar kertas telah terprint tanpa cacat, dan langsung kulipat dengan cepat lalu kumasukkan ke dalam amplop panjang.
Sial, baru sepagi ini, tapi perasaanku udah deg-degan banget. Dan melihat jam dinding aku jadi semakin stres, pulang kerja tentu aja masih lama, dan aku harus melalui waktu lama lagi di mana aku akan menyerahkan surat pengunduran diri.
Aku mengembuskan napas kasar, kesal dengan diri sendiri, bisa nggak sih, nggak panik? Bisa nggak sih otakku nggak mengarang adegan buruk, dan mengkhayalkan semuanya akan berjalan lancar seperti kemauanku.
Aku kembali mengintip dari balik tirai, sudah pukul sepuluh. Ah, bisa jadi dia hanya akan muncul sore hari untuk terima laporan harian. Kadang-kadang dia kan begitu. Memikirkan Koko yang datang untuk sekadar cek laporan harian, langsung membuat imunku naik. Aku merilekskan tubuhku, dan kembali menekuri pekerjaanku. Dia datang, kasih surat resign, beres!
Setengah jam berlalu kulihat dari jam di komputerku, dan senyumku semakin mengembang karena feelingku sepertinya akan jadi kenyataan.
Ponselku berdering, melihat nama yang terpampang mataku langsung memicing tajam.Pak Sapta. Please... jangan ada berita buruk lain, kalau cuma minta kasbon, aku bisa handle, tapi kalau yang lain-lain—sialan, perasaanku balik ke mode panik.
“Halo, Pak,” sahutku. Bibirku menipis, meskipun kakiku terus saja bergerak.
“Ada barang reject. Warnanya nggak pas. Kliennya Nova, dia udah tahu, dan dia bilang mau urus ke bos kecil.” Yang dia maksud adalah Koko.
“Terus?” tanyaku dengan wajah penuh antisipasi.
“Aku kasih tahu kamu juga, buat jaga-jaga kalau bos kecil tanya.”
Oh, ya, makasih atas perhatiannya Pak Sapta, tapi kayaknya aku tetap kena imbasnya.
“Barang apa?” tanyaku akhirnya dengan jantung dag dig dug.
“Spanduk kartu seluler, dua ribu pcs.”
Mampus! Kepalaku langsung terhenyak ke sandaran. Arghh...! Tubuhku langsung berputar di kursi 360 derajat penuh. Aku bisa hadapi omelan Koko, tapi masalahnya kenapa harus hari ini! Kalau moodnya nggak bagus gimana aku kasih surat pengunduran diri! Tapi bodo ah! Apa pun suasana hatinya aku wajib kasih surat resign!
Aku buang napas, tarik napas, gitu aja terus, tapi aku tetap nggak bisa tenang. Aku coba cek lewat tirai. And see... dia datang! Pasti dia udah dengar kabar tuh.
Wajahku pasti kelihatan kusut banget sekarang. Kalau aku bekerja di dunia kreatif udah pasti nggak akan ada ide yang keluar dari kepalaku, berhubung pekerjaanku menghadapi banyaknya rekapan, jadi mau perasaan campur aduk juga, aku tetap kudu kerja jangan sampai selip, kalau nggak mau Koko makin ngamuk-ngamuk.
Ketika pintu terbuka aku sangat terkejut, rasanya seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Apalagi orang yang masuk kini menatapku dengan wajah tegang yang sama. Aku hanya berani meliriknya. Dan yang dia lakukan malah duduk di kursi di hadapanku. Bikin aku tambah nggak nyaman.
Koko menyugar rambutnya. Sialnya, tetap kuhitung dalam hati. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Ya, tepat tiga kali dia baru berhenti.
Dengan wajahnya yang memerah dia berkata slash mengomel, “Rugi bahan baku. Biaya operasional. Tidak dapat untung! Pusing saya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Boss, I Quit!
Romance[Tersedia di Karyakarsa dan Google playbook] Aku ingin merokok, mencicipi minuman beralkohol, mentato tengkukku biar terlihat keren seperti Shan Cai. Punya teman kencan. Ciuman yang membangkitkan gairah, and then, having sex jika memungkinkan. Tapi...