Bab 9

16.6K 3.9K 435
                                    

Nggak peduli semalam apa, tapi hari itu juga aku mengendarai motorku ke rumah Jani. Pikiranku linglung banget. Aku benar-benar nggak percaya dengan kebodohan yang kulakukan tadi, kenapa aku nggak bersikeras resign nggak peduli apa pun yang dikatakan si Kodanil! Nggak peduli dengan kesepakatan-kesepakatan gila yang dibuatnya. 

Jangan-jangan tadi aku dihipnotis? Arghh... sekarang aku benar-benar menyesali semuanya. Kalau besok aku bilang ke Koko untuk batalin semua kesepakatan kami tadi, kira-kira jurus apalagi yang akan dikeluarkannya? Serius, otakku buntu banget. 

Aku menghubungi Jani begitu sampai di depan pagar rumahnya.

Jani yang tahu aku sudah di depan rumahnya, tampak tergesa-gesa keluar. “Kabur dari rumah lo?” tudingnya langsung.

“Sejak kapan gue kabur dari rumah?” balasku.

Ya, aku memang nggak pernah bertengkar dengan Mama, kalau cuma ngambek-ngambek khas remaja sih sering. Tapi seringnya Mama yang mengalah. Mama terlalu percaya diri jika anak satu-satunya ini teramat lurus—dan yah, gara-gara itu pula seperti ada sekat tak kasat mata yang mengelilingi jika aku ingin melakukan hal melenceng. Hati nuraniku selalu memainkan perannya, meski kerap kali sisi liarku ingin mencoba hal-hal baru yang tentunya bertentangan dengan norma-norma—dan itupun selalu gagal.

“Jadi??” desak Jani membukakan pintu pagar. 

Aku melajukan motorku. Mematikan mesin. Membuka helm. 

“Yang kali ini lebih mendesak,” balasku.

Tampang Jani semakin penasaran dan was-was. Tanpa membuka jaket aku langsung duduk di kursi terasnya, menyandarkan punggung lelah.

“Belom mandi lo, Ya?”

“Belom...” sahutku panjang, nggak peduli dengan tampang pura-pura jijik Jani. “Baru pulang kerja langsung ke sini.”

“Duh... kok gue jadi deg-degan. Nabrak orang lo ya?” tebaknya lagi sambil mengamati motorku.

“Enggak...”

“Jadi apaan dong? Jangan bikin gue panik, ih!”

Aku mendesah beberapa kali, memandang Jani dengan tampang kusut dan lelah. Sebenarnya kalimat ini malas sekali harus kukeluarkan, tapi mau gimana lagi. “Gue dilamar bos gue. Kurang gila apa coba??”

Dan Jani... yeah langsung memekik histeris. “Serius lo? Bentar lagi nikah dong??”

Aku langsung mengibas-ngibaskan tanganku. “Enggak gitu...” 

Dan dengan perasaan campur aduk aku menceritakan kejadian tadi kepada Jani. “Dia cuma mau ambil keuntungan dari gue. Gue jamin, semisal, gue terima tuh lamaran dia, dia juga pasti bikin perjanjian, bisa aja cuma nikah kontrak. Bodoh banget, kan gue?” desahku.

Jani manggut-manggut. “Bener, Ya. Lo nggak boleh percaya gitu aja.”

“Dia bilang nikah sama gue di sini. Ntar dia di Singapura punya bini lagi. Atau paling nggak selingkuhan. Teman kencan, teman tidur. Terus gue di sini banting tulang ngurusin bisnisnya. Ih... enggak-enggak.”

“Masuk akal!” seru Jani menyetujui ucapanku.

“Gue nggak ngerti, kenapa mesti gue coba?” ucapku masih dengan perasaan kesal yang sama. 

“Gue pernah tuh baca artikel. Kalau nggak salah kalimatnya, gini, men attend women for two reasons, sex and love, but in most cases men don’t marry for sex or for love, they marry for stability.”

“Nah kan! Karena gue dianggap membawa stabilitas bagi dia, jadi dengan mudahnya dia ajak gue nikah!” Aku langsung menjentikkan jariku. “Ini nggak bisa dibiarin.”

Dear Boss, I Quit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang