Ke mana kami? Ternyata Koko membawa kami ke apartemennya.
Ini seperti acara dibalik pintu-nya Boy William. Dan tadaa... masuklah kami ke apartemen Koko Daniel Fernando Chandra Admaja, si pemuda angkuh nan songong, eh?
Serius, mataku nggak henti-hentinya jelalatan.
Apartemennya bersih, rapi—entah karena memang jarang ditempati—cenderung lengang tanpa banyak barang. Dilihat dari pintu yang ada, sepertinya cuma ada satu kamar, dan satu lagi pasti kamar mandi. Dalam sekali lihat aku bisa menebak Koko suka sesuatu hal yang unik tapi memiliki fungsi, beberapa furniture yang ada memiliki bentuk atau corak yang tidak umum. Seperti asbak, lampu, meja makan.
Dan aku semakin nggak nyangka, dia sudah prepare untuk kedatangan kami—maksudnya, fungsi kami di sini, fungsi Jess sih lebih tepatnya bukan aku, sebab di sudut ruangan sudah ada meja, lengkap dengan background, lighting, tripod. Whoaa... sudut itu sudah ada di dalam pikiranku ketika mulai belajar make-up.
Andai saja ini bukan apartemen Koko pasti aku sudah excited.
Koko meletakkan kardus yang dibawanya, lalu mengeluarkan isinya yang merupakan produk sablon kami, ada kaos, totebag, blocknote, pouch, pin, stiker dan sebagainya.
“Kita harus punya booth seperti ini di kantor.”
“Ruang arsip di lantai dua kayaknya cocok.” Kataku yang fokus ke pernak pernik Youtuber itu. Astaga... aku keceplosan. Ketika mendongak, Koko sudah menatapku.
“Sound good.”
“Jess, sini,” ucapnya.
“Ya, Ko,” sahut Jess yang hari ini girly abis pakai rok dan kaus pink itu mendekat, menyibakkan sedikit rambutnya yang lurus dan berwarna kecokelatan.
“Mineral di kulkas, ambil sendiri bisa kan?” ucapnya kemudian yang pastinya ditujukan ke aku, yang kontan pengin kugetok kepalanya karena mana mungkin aku ambil-ambil sembarangan. Harusnya dia dong yang layanin tamu.
Aku melipir hati-hati tanpa menarik perhatian, duduk di sofanya yang empuk banget. Nyaman banget nih sofa. Kalau ini bukan apartemen Koko aku pasti udah curi-curi kesempatan buat goleran. Tapi berhubung ini apartemen Koko, punggungku bawaannya tegang aja, biasanya nggak mungkin nih, dia biarin aku diem-diem aja kayak sapi nunggu jatah rumput.
Waktu bergulir, aku udah nggak bisa tegakin punggung lama-lama, sementara suara Koko masih kayak kaset rusak jelasin ke Jess ini itu, termasuk tentang rencananya yang bikin video-video pendek. Apa aku fotoin mereka aja dari belakang ya? Terus kukirim ke Mbak Nita, hihi. Tapi nggak deh, jejak digital bisa bahaya. Aku kan udah mau cabut, nggak mau cari gara-gara.
Tapi ya, makin lama di sini, dan nggak ngapa-ngapain, udah pasti aku boring lah. Aku juga nggak mungkin turun gitu aja tanpa kartu akses dia. Aku beneran kayak kambing congek perhatiin dia yang ngajarin Jess ambil angle-angle yang pas pakai kameranya yang mahal itu. Mana nih hape sepi amat, random chat ke Jani aja kali ya?
Sambil menimang ponsel, mataku memicing karena akhirnya ada beberapa chat yang masuk mendadak. Grup geng SMA mendadak menempati posisi teratas. Ini grup memang ilang timbul, ramenya kalau lagi ada pembahasan seru aja, atau pas si Awan sebar foto-foto jadul.
Di dalam grup itu ada enam orang. Awan, Darius, Mada, Agustinus, Jani, dan aku tentunya. Kami semua satu kelas saat SMA. Berbeda dengan Jo yang jurusan IPA, aku masuk jurusan IPS, dan di mana-mana vibes dari kedua jurusan itu memang beda jauh. Teman-temanku spesies yang nyantai abis.
Biasa aku cuma saling private message dengan Jani.
Tapi yang kali ini rame karena...
Awan : Oii... Darius mau balik ke habitat. Bosan di tengah laut main sama Spongebob mulu. @soraya atur tempat terus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Boss, I Quit!
Romance[Tersedia di Karyakarsa dan Google playbook] Aku ingin merokok, mencicipi minuman beralkohol, mentato tengkukku biar terlihat keren seperti Shan Cai. Punya teman kencan. Ciuman yang membangkitkan gairah, and then, having sex jika memungkinkan. Tapi...