Bab 14

17.2K 4.1K 729
                                    

Hal ternikmat bagi kaum pekerja adalah menghabiskan hari dengan tidur seharian. Kepalaku menangkup di bantal sofa dengan televisi berkicau nyaring dan beberapa saat lagi aku yakin akan membawaku kembali terbang ke alam mimpi.

Namun, baru saja akan terhanyut sudah ada yang mengetuk-ngetuk kunci pagarku. Anak siapa sih itu main di pagar rumah orang?! Please lah, aku jarang di rumah, sekalinya libur malah ada gangguan.

"Permisi..."

Wajahku terangkat sedikit, mungkin aku sedang berhalusinasi, suaranya seperti aku kenal. Tak lama ponsel yang ada di meja bergetar. Aku meraihnya dengan susah payah, dan ketika melihat siapa yang memanggil, mataku langsung melotot. "Oh, shi—"

Aku berguling turun dari sofa dan mengintip dari balik pintu besi. "Ko—" ucapanku terputus berganti dengan decakan. Ngapain dia di sini?? Bukannya dia bilang bakal pulang besok?

Ponselku masih terus bergetar, dan kuhela napas kasar.

Oke, harusnya aku suka karena dia datang di hari minggu yang cerah—panas tepatnya—ini, karena itu artinya aku akan mencapai ke level empat kesempatan.

Aku membuka pintu besi, air mukaku udah pasti kecut banget memandanginya dengan setelan kemeja dan jins. Agaknya dia sedikit formal, mau ngapain? Tanya batinku lagi waspada.

Hal pertama yang dikatakannya begitu aku mendekat, "Belum mandi, kamu?"

"Ya suka-suka saya," balasku.

Matanya yang sipit jadi semakin sipit, tak menanggapi ucapanku dia malah celingukan. "Mama kamu di dalam?"

Alisku langsung tertekuk aneh, tuh kan, dia pasti ada maksud. "Ngapain cari Mama saya?"

"Mau kasih ini." Dia menunjukkan paperbag dengan gambar sesuatu yang aku suka—mooncake, Bu Susan juga sering beli, dan aku suka yang isi kacang—Ah! Sadarlah Aya.

"Mama belum pulang ibadah, titip ke saya aja, Ko."

Koko spontan menggeleng. "Saya akan memberikannya secara langsung. Saya mau lihat ekspresi Mama kamu."

Astagaaa.... Aku menatapnya sengit.

"Kalau mama kamu belum pulang. Kenapa kamu sudah di rumah?"

Wajah sinisku berganti dengan muka polos. "Oh, itu—"

Aku spontan mundur saat Koko melakukan gerakan seperti hendak menyentil dahiku. Halah... dia mau bilang aku bolos ibadah? Dia sendiri gimana??

"By the way, matahari seperti berada tepat di atas kepala saya."

Aku langsung bersungut-sungut, "Duduk Ko."

Koko duduk di kursi teras rumahku, tapi aku masih berdiri tak jauh darinya. Aku akan tetap berdiri, sampai memastikan apa maksud dan tujuannya datang ke rumahku.

"Coba kamu telepon Mama kamu, tanya sudah di mana? Saya mau izin ajak kamu."

"Terus kalau Mama bilang masih di Gereja, Koko mau suruh saya bilang ke Mama supaya cepat-cepat pulang?"

"Ya tidak."

"Ya terus?"

Koko merengut sesaat sebelum berganti seringai. "Iya... Iya... Mandi sana."

Tubuhku berputar sampai di dalam langkahku terhenti. Ini kan rumahku, tubuhku, hari liburku? Kenapa dia tetap bisa seenaknya memerintahku?? Aku menggaruk-garuk rambutku kasar. Mengapa kata-katanya seperti autopilot bagi tubuhku?!

Bodo ah! Biarin aja dia nunggu lama.

Aku nggak tahu berapa lama tepatnya, tapi feelingku, mandiku kali ini pasti lama. Aku masih santai keluar dari kamar mandi sebelum mendengar suara-suara dari arah depan.

Dear Boss, I Quit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang