Satu bulan sebelumnya...
.
.
Ada dua jenis misuh-misuh. Yang pertama, misuh-misuh dalam hati yang menggerogoti organ-organ tubuh hingga menyebabkan komplikasi mulai dari tekanan darah tinggi, kepala pusing, pandangan berkunang-kunang. Yang kedua misuh-misuh yang diomongin kuat-kuat hingga orang lain anggap kita gila.
Aku? Of course-lah yang pertama. Makanya nih, tubuhku tambah ceking, misuh-misuh mulu.
Aku kembali menaruh lem perlahan ke bulu mata dan memasangnya ke mataku dengan hati-hati. No, aku bukan menghabiskan waktu memasang bulu mata di kamar, melainkan di kantor dengan tumpukan kerjaan yang bikin kepala bagian belakangku panas dan berdenyut-denyut.
Tepat lima menit yang lalu aku tagih pembayaran yang udah diwanti-wanti Koko dari kemarin sebelum dia berangkat ke Singapura.
Dan hasilnya? Tentu aja nihil! Kalau nggak kan, aku nggak akan misuh-misuh kayak gini. Alasan mereka belum ditandatangani manajer keuangan yang lagi cuti karena ada kemalangan.
Untuk itu sekarang aku malah sibuk mencoba bulu mata yang kupesan kemarin dan baru saja datang. Mengabaikan rekapan orderan yang menumpuk. Aku bukan wanita yang girly, dan tubuhku juga nggak cocok memakai sesuatu yang girly. Tapi memang sudah sebulan belakangan aku menyukai hobi baruku, yaitu make-up, aku sedang mempelajari make-up karakter. Mempelajari struktur wajahku, juga padu padan make-up yang cocok untuk kulit tan-ku.
Jika aku berhasil mendandani diri sendiri menjadi orang yang berbeda, bukan nggak mungkin setelah ini aku nekat bikin konten di Youtube. Apa pun yang ada di pikiranku adalah prepare buat kesibukan setelah keluar dari sini.
Dan, sialnya, aku kembali ingat Koko bakalan telepon.
Good job, Aya! Sampai-sampai bulu matamu miring. Aku mencabutnya dengan kesal, dan mencoba memasangnya lagi.
Padahal niatnya hari ini aku bisa sedikit leha-leha. Perasaanku hari ini harusnya seperti murid yang merdeka sebab guru killer tidak datang karena ada urusan. Aku semakin kesal karena ada saja yang aku pikirkan.
Shit-lah! Mood-ku kian campur aduk kayak nasi padang yang dibawa pulang.
Padahal seharusnya aku tak perlu merasa seperti ini, aku sudah sampai di titik, dipecat pun nggak masalah. Aku merasa sumbangsih yang kulakukan sebagai karyawan di sini too much. Yang ujungnya membuatku merasa dimanfaatkan karena suka disuruh ini itu.
Mataku menyipit kesal kala melirik ke sisi kananku. Ke si empunya ruangan yang sekarang sedang ada urusan di Singapura—entah apa itu, dan males pake banget buat aku kepoin meski buibu di luar ruanganku kepo setengah mati.
Nama lengkapnya Daniel Fernando Chandra Admaja.
Awal tahu nama lengkapnya aku bahkan nggak tahu harus panggil Ko Daniel, Ko Fernando, Ko Chandra atau Ko Admaja.
Kayak habis absen empat nama terus dijadikan satu. Sungguh, entah siapa yang menamainya, beneran nggak kreatif.
Pernah sekali aku nggak sengaja panggil dia Ko Daniel, dia nggak noleh dong...
Dia cuma jalan melewati meja kerjaku dengan satu tangan lain sibuk mengetik di ponselnya. Aku sih menduga dia nggak mendengar karena terlalu fokus. Tapi pas sebelah tangan dia yang lain pegang handle pintu ruangannya, gerakannya berhenti, dan memutar ke arahku.
“Did you call, Me?” tanyanya waktu itu.
Aku sedikit menaikkan alis lalu mengangguk kaku.
“When I was in high school there were two Daniels, so, to make it easier, my classmates used to call me Chandra,” cerocosnya yang membuatku diam memperhatikan dengan bingung. “You know what I mean?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Boss, I Quit!
عاطفية[Tersedia di Karyakarsa dan Google playbook] Aku ingin merokok, mencicipi minuman beralkohol, mentato tengkukku biar terlihat keren seperti Shan Cai. Punya teman kencan. Ciuman yang membangkitkan gairah, and then, having sex jika memungkinkan. Tapi...