Chapter 14. Hilangnya Sebuah Harapan

2.7K 79 6
                                    

Wajahnya memucat, pria pertama berbalik untuk berbicara dengan pengemudi dan yang lainnya mengamati kerumunan penumpang. Stela dengan cepat mengenali siapa pria itu, mereka adalah anak buah Akalanka. Tatapannya yang dingin dan tak tergoyahkan tertuju padanya, Stela menelan ludahnya, menghancurkan harapan untuk melarikan diri dengan aman.

Pria itu berjalan melewati deretan kursi. Stela menekan dirinya lebih dalam ke kursi, berharap kursi itu bisa menyerapnya. Jika lubang hitam muncul di bawah kakinya, dia akan dengan senang hati membiarkannya menelannya.

Ia menundukkan kepalanya, Stela tidak berani untuk melihat ke atas ketika pria itu datang berdiri di sampingnya. Tatapan dingin itu membuat tubuhnya lemas tak berkutik.

"Ikut denganku." Pria bertubuh besar itu berkata dengan ekspresi wajah yang datar, penuh penekanan di suaranya yang terdengar tegas dan keras.

Stela tidak bergerak sedikitpun, sehingga membuat pria itu mencondongkan tubuh lebih dekat padanya. "Jangan membuat keributan. Ikutlah denganku atau aku akan menembak semua orang di bus ini, dan menyeretmu keluar dari sini."

Stela melihat logam pistolnya bersinar yang di ikatkan pada ikat pinggangnya. Tanpa sepatah kata pun, Stela berdiri dan mengikuti pria itu keluar dari bus. Sopir itu tampak cukup ketakutan sehingga ia membuang air kencing di celananya dan warna wajahnya yang telah berubah menjadi pucat pasih. Stela hanya bisa melihat sekilas ke arahnya, sebelum pergelangan tangannya ditangkap, dan dia diseret keluar dari bus.

"Masuk ke dalam." Perintahnya, sambil menjulurkan dagunya ke arah SUV hitam yang familiar.

"Dan jangan memikirkan sesuatu yang bodoh." Mengancamnya, pria itu meremas lengan Stela sebagai peringatan.

Dengan gugup, Stela terhuyung ke kursi belakang, pria itu membanting pintu dan mengunci beberapa detik kemudian.

"Ku pikir kau gadis yang cerdas." Suara yang familiar langsung menarik perhatiannya. Akalanka duduk di sampingnya, ekspresi wajahnya sedingin es.

"Apa kamu benar-benar berpikir kamu bisa melarikan diri dariku?" Akalanka berbicara tanpa menatapnya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya bergerak dengan gigi yang mengepal dan mengatup.

Stela menekan dirinya dengan kuat pada pintu mobil yang terkunci, membuat jarak sejauh mungkin antara dia dan pria yang mengesankan itu.

"Kamu tidak memberiku pilihan lain." Secara mengejutkan dia berhasil menjaga suaranya tetap stabil, dan itu memberinya dorongan keberanian yang tak terduga.

"Kamu pikir kamu bisa mengendalikan hidupku? ini soal hidupku yang sedang dipertaruhkan, aku melakukannya untuk hidupku sendiri apa aku salah? dan aku -" Perutnya mengepal mengingat kenangan manis namun pahit bersama ayahnya. 

"Aku tidak ingin terlibat dalam hutang ayahku lagi." Ucapnya mantap.

"Kamu lebih suka melihatnya mati?" Pertanyaan itu di ucapkan dengan ekspresi wajah yang santai. Dia memang bukan pria atau ayah yang baik, tetapi dia masih memiliki tempat khusus di hati Stela.

Akalanka berbalik untuk menatapnya. Ia mengamatinya dengan seksama, tatapannya membuat napas Stela berhenti dan merinding menyebar di sepanjang lengannya. "Itu pertanyaan sederhana, gadis cantik."

"Tidak." Jawab Stela.

Dalam sekejap Akalanka mengulurkan tangannya, menangkap dagu gadis itu. "Kamu sudah lama menukar kebebasanmu dengan nyawanya." Ibu jarinya menekan bibir bawah Stela.

"Aku terlalu lembut padamu. Aku harus menghukummu karena mencoba melanggar kesepakatan kita." Ucapnya lagi.

Mobil tiba-tiba berhenti mendadak. Bau karet terbakar dari derit ban menyerang indra penciumannya. Adrenalin mengalir deras melalui nadinya, dan matanya melebar ngeri. 

AKALANKA : Soul Destroyer [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang