"Cuma merasa lega aja karena ternyata anak kecil itu baik-baik aja ... "
Aku menghela napas kesal, saat kembali teringat perkataan Arga itu. Apanya yang cuma merasa lega kalau anak kecil itu aka Tias baik-baik saja, nyatanya Arga membiarkan Tias bergabung dengan mereka.
Ya, sejak hari pengakuan Arga dua minggu lalu itu, Tias bisa mendekati Arga sesukanya, bisa bermanja-manja dengannya semaunya tanpa melihat ada aku di sana.
Bahkan Arga cenderung membiarkan Tias bergelayut manja di lengannya,
"Gue cuma nganggap dia adik gue aja Nay, gak lebih. Ajeng juga sering bermanja-manja seperti itu kok sama gue," jelas Arga tiap kali aku mengeluhkan sikap Tias itu, yang menurutku sudah tidak wajar lagi.
Hellooo Arga ... Beda yaa Ajeng sama manusia ubur-ubur yang satu itu. Ajeng beneran adik kandung kamu, sementara ubur-ubur itu sudah pasti akan menjadi orang ketiga di antara kita!
Semua dapat melihat kalau Tias menyukai Arga, semuanya mengetahui hal itu, hanya Arga saja yang batu, yang tetap mengira kalau sikap Tias itu semata-mata hanya sikap manjanya saja seperti halnya adik pada umumnya.
So, sejak saat itu aku jadi malas mengeluhkan sikap Tias lagi. Aku lebih cenderung membiarkannya.
Aku hanya tidak ingin kalau hanya karena masalah sepele ini membuat hubunganku dan Arga menjadi renggang.
Masalah tidak hanya sampai di sana saja, belakangan ini Arga malah lebih sering mengantar Tias pulang daripada mengantarku. Dan malah memintaku menunggu di sekolah, Arga baru menjemputku setelah mengantar Tias.
Seperti hari ini ...
Aku melirik jam tanganku, sudah satu jam Arga terlambat, dan aku semakin kesal dibuatnya.
"Loh Tiana, kamu belum pulang?" tanya Riko saat mendapati aku yang tengah menunggu Arga di depan kelasku.
"Belum. Biasa dia nganterin Tias pulang dulu," jawabku sambil terus membaca novel onlineku, meski sudah tidak fokus lagi sejak setengah jam yang lalu.
"Ini udah kesorean loh ... Tinggal kita berdua aja yang belum pulang. Udah balik bareng gue aja yuk, ngeri gue ninggalin cewek secantiklo di sini sendirian!" seru Riko.
Tanpa pikir panjang lagi gue pun mengangguk setuju. Beriringan kami menuju parkir motor,
"Maaf, Nay. Gue cuma bawa satu helm aja nih. Tapi lebih baik lo yang pake aja deh," ujar Riko sambil menyerahkan helmnya ke aku.
"Eh jangan, masa aku yang pake sementara kamu malah ngga. Nanti ditilang polisi gimana?" tanyaku dan Riko malah tergelak.
"Tiana ... Kalau yang pake gue dan lo nggakpun kita akan tetap ditilang juga. Jadi lebih baik lo aja yang pake, keselamatanlo jauh lebih penting dari sekedar uang yang gue keluarin nanti buat bayar tilang."
Melihat aku yang masih ragu-ragu, Riko langsung memakaikan helm itu ke kepalaku,
"Nanti sampai rumah langsung keramas yaa, gue gak mau dihajar Arga karena rambutlo jadi bau gue," ujarnya yang langsung membuatku tergelak.
Ya, itulah Riko yang selalu bisa mencairkan suasana dan selalu berhasil membuat aku menertawai kekonyolannya.
"Mau pake jaket gue gak? Baru dipake hari ini jadi gak terlalu bau," tanya Riko setelah mengendus jaket kulitnya.
"Udah kamu aja yang pake."
"Nanti lo masuk angin."
"Nggak, kan nanti kehalang badan kamu anginnya."
"Oh iyaa, yaudah jadi yakin nih gak mau pake?" tanyanya sekali lagi.
"Udaahh kamu aja yang peka!" seruku dan Riko pun menganggukkan kepalanya.
"Kamu seharusnya marah sama arga, kenapa kamu yang harus menunggu di sekolah? Sebenarnya yang jadi pacarnya itu kamu atau Tias sih?!" saran Riko sambil melajukan motornya keluar dari pagar sekolah.
"Aku udah capek, Rik. Jadi biarian ikutin ajalah apa maunya Arga. Karena aku protespun percuma, dia lebih berat ke teman masa kecilnya itu," balasku.
Ya, memang aku sudah sampai ditahap tidak peduli lagi arga dan Tias mau melakukan apapun.
"Aku juga heran sama Arga, Nay. Kenapa bisa tunduk begitu sama apapun maunya Tias. Di pelet kali ya?!" canda Riko sambil terkekeh pelan.
"Aku juga bisa melet!" seruku.
Riko menghentikan motornya karena lampu merah,
"Masa?" tanyanya dengan nada tidak percaya sambil berbalik menatapku. Dan aku langsung menjulurkan lidahku,
"Tuh, bisa kan?" candaku dan Riko pun tergelak,
"Itu sih meletin lidah." kekehnya lalu kembali fokus ke jalan raya,
"Tapi boleh juga candaannya," lanjutnya masih terus tertawa sendiri.
Tapi sepertinya hari itu bukan hanya aku saja yang sedang sial, tapi Riko juga. Karena tiba-tiba saja seorang polisi meminta Riko untuk meminggirkan motornya.
"Selamat siang, Dek. Tahu kesalahannya apa?" tanyanya.
"Tidak pakai helm pak," jawab Riko tanpa basa-basi lagi sambil mengeluarkan sim dan stnknya padahal pak polisi itu belum memintanya.
Tapi karena Riko sudah menyerahkannya, pak polisi itu langsung memeriksanya dan menganggukkan kepalanya,
"Kamu saya tilang, dan SIMnya akan saya sita!" serunya.
"Siap pak, saya tidak keberatan kalau bapak tilang dan menyita SIM saya, asal jangan menyita wanita di belakang saya, limited edision soalnya, Pak!" balas Riko.
Pak polisi itu menggelengkan kepalanya ketika Riko memekik kesakitan saat aku mencubit pinggangnya. Dan langsung fokus menulis surat tilang untuk Riko.
"Lain kali lengkapi apparel berkendara, itu demi keselamatan kamu juga! Bayar tilang ini di bank, ok!" seru pak polisi itu sambil menyerahkan blanko tilang berwarna biru pada Riko.
"Siap, pak!" balas Riko.
"Ya, sekarang kamu boleh jalan. Kalau diberhentikan lagi, perlihatkan saja blanko tilang itu,"
"Baik, Pak."
"Maaf, gara-gara aku kamu jadi ditilang ... " desahku saat Riko kembali melajukan motornya.
"Santai aja, itu gak jadi masalah selama gue bisa ngenterinlo same rumah dengan selamat," timpal Riko.
"Terima kasih, Rik." ucapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Argana
RomanceArgana, seorang pria yang menjadi idaman satu sekolah. Pria yang tidak hanya mengenalkanku tentang indahnya cinta, dan memberikan rasa rindu yang tak bertepi. Tapi juga menjadi satu-satunya pria yang membuatku merasakan, betapa sakitnya hati yang te...