29 Kamu Enggak Sendirian

7.5K 1.6K 191
                                    

Hembusan angin dari barat membawa awan bersamanya. Langit sore pun semakin gelap. Hwan sendiri sebenarnya masih butuhvteman di sampingnya. Entah atas alasan apa bersama Anne pemuda itu bisa membuka pintu hatinya. Padahal dia baru kenal anak itu beberapa bulan saja. Ia menoleh sekilas melihat pipi gembul itu merona. Apa karena Anne pernah melihat dirinya di kondisi terbawah? Sebuah kilatan baru Hwan rasakan.

Untuk terakhir kalinya Hwan menelungkup, memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya mencoba mengingat wanita yang memberinya kehangatan di antara luka-luka tangannya. Jantungnya berdenyut lebih cepat saat sebuah tangan menepuk punggungnya perlahan.

Bibir terbuka dan mata terbuka lebar adalah ekspresi terkejut dari Hwan. Gadis yang duduk di depannya tersenyum lebar sembari menepuknya perlahan. "Tenang, Kak. Kak Hwan nggak sendiri kok." Anne meraih tangan Hwan kemudian memegangi banyak bekas luka lamanya. Hwan hanya tertegun. Dia diperkenalkam akan kehangatan seseorang melalui luka. Ini adalah pengalaman pertamanya mendapatkan kehangatan yang jauh lebih nyaman dengan sebuah sentuhan tangan. "Asalkan Kak Hwan tidak lagi melukai tangan indah ini. Aku akan membantu Kak Hwan," ujar Anne yang tanpa disadarinya perlahan tengah mengubah seseorang.

Rinai mulai turun dan itu adalah tanda mereka harus segera pulang. Anne bangkit lebih dulu, menghapus kotoran tanah dari roknya. Ia mengulurkan tangan kemudian disambut oleh Hwan sepenuh hati.

Wajah pemuda itu merona entah karena alasan apa. Wajahnya melengos ketika memanggil nama Anne.

"Apa, Kak?" tanya Anne.

Hwan berdehem masih menolak menatap wajah lawan bucaranya. "Suatu saat, kalau Septian buat kamu patah hati ... I'll always be here. Cukup panggil namaku."

"Maksudnya?"

"Nggak ada maksud apa-apa. Ayo pulang," kilah Hwan cepat.

Ia meraih tangan Anne. Menunduk sebentar untuk memberika penghormatan terakhirnya bagi sang mama. Setelahnya Anne ditarik menyusuri setiap pusara yang sama terawatnya. Kali ini tanpa diminta Hwan memasangkan helm pada Anne membuat gadis itu sedikit kuwalahan dengan sikap Hwan.

Sampai di gerbang sekolah lagi. Hwan pun menunggu sampai Anne mengambil sepedanya. Sudah Anne minta untuk Hwan pulang duluan tapi dengan alasan takut Anne jatuh tengah jalan, pun Hwan mengikuti sepeda Anne dari belakang menggunakan motor besarnya.

Hujan semakin deras saja. Anne sendiri membawa perlengkapan jas hujannya. Mamanya telah memastikan bahwa jas hujan tak pernah boleh keluar dari tas Anne terutama di musim penghujan seperti ini. Dan kali ini Anne mengeluarkan pertama kali untuk dikenakannya. Jas hujan berwarna kuning itu sedikit mencolok dengan suasana kelabu sekitarnya. Awan gelap sama sekali tidak mengijinkan sinar matahari mengintip barang sesenti pun.

Berbeda dengan Hwan. Pemuda itu sedikit tak peduli akan cuaca. Ia tidak memiliki banyak ketertarikan akan musim. Kalau musim hujan bukankah sewajarnya mereka kehujanan? Kalau sudah basah tinggal dikeringkan saja, sesimpel itu pikirnya. Tak pernah punya jas hujan dan payung pun hanya menjadi aksesoris saja di dalam tasnya.

Anne melihat Hwan yang berdiri kehujanan di bawah gerbang sekolah. Masih mengenakan helm full face dengan jaket hitam melilit tubuhnya pas. Anne yang sudah lengkap dengan jas hujannya sedikit limbung akibat angin kencang yang meniupnya. Bibir pemuda itu sedikit terangkat di balik helm yang menutupi wajahnya tanpa celah.

"Aku bisa pulang sendiri!" teriak Anne agar suaranya bisa menembus derasnya hujan dan helm tersebut. Hwan mengangkat tangannya. Menyatukan jempol bersama telunjuk membentuk tanda OK. Meskipun demikian pemuda itu masih tetap mengikuti Anne dari belakang.

Karena merasa tak enak, Anne mempercepat laju sepedanya. Memang sedikit kesusahan ketika butir hujan menghantam jas hujannya semakin menambah berat tubuhnya. Apalagi arah Anne pulang melawan arah angin semakin keras lah Anne mengayuh sepedanya.

ANNE The Sweet PotatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang