Setelah makan siang bersama, Qia beserta tiga anak itik mengekorinya membawa masing-masing tas juga peralatan berkemah. Mereka berjalan bersama melewati jalan setapak menuju sebuah bukit perkemahan. Namun Qia tidak mengajak ketiga anak remaja itu untuk berkemah di tempat biasa karena di akhir minggu seperti itu biasanya umi perkemahan akan lebih ramai.
Qia mengajak ketiganya sedikit masuk ke dalam hutan.
"Mama yakin ini tempatnya?" tanya Anne yang sedikit takut karena ia belum pernah ke tempat sejenis itu sebelumnya.
"Tenang. Mama tahu kok. Kita berkemah di dekat danau. Kakak lupa? Kita pernah ke sana lho."
"Oh ..."
Qia menasehati ketiganya untuk berhati-hati karena di musim penghujan seperti iu jalanan akan sedikit licin. Janan sampai mereka tergelincir. Setelah sedikit mendaki, keempatnya tiba di sebuah area datar dengan danau alami kecil.
"Waahh!" Anne sedikit berlari untuk melihat pemandangan di depannya.
sebuhapemandangana alami yang taka akan pernah mereka lihat di kota. Danau itu memantulkan cahaya matahari begitu indah. Dikelilingi oleh hutan, tempat itu terasa private dan intim. Setelah menurunkan semua barang bawaan keempatnya mendekati danau.
Anne menemukan sebuah sampan yang terbalik di pinggir danau. Septian mengajak Hwan untuk membalik sampan itu.
"Ini masih bisa dipake?" tanya Septian.
Qia memeriksa perahu kayu itu. Tak ada tanda-tanda keropos akibat dimakan rayap.
"Kayaknya masih bisa deh," jawab Qia.
Hwan mendekat membantu Septian untuk mendorong perahu itu ke atas permukaan air dan perahu itu berhasil terapung di atas permukaan air. Setelah mengecek semuanya, mereka sepakat bahwa perahu itu memang masih layak untuk digunakan.
"Okey, simpan dulu perahunya. Kita pasang tenda sebelum sore, terus kalian bebas ngapain," ajak Qia.
Keempatnya memasang dua tenda. Satu untuk Anne dan mamanya dan satu lagi untuk Septian juga Hwan. Anne sempat terpukau melihat keahlian mamanya memasang tenda. Sebenarnya Anne tak perlu terkejut karena mamanya adalah salah satu relawan aktif di masa mudanya. Pasti membangun perkemahan seperti ini bukan sesuatu yang sulit bagi mamanya. Tapi tetap saja ... keren! Tiba-tiba saja Anne ingin jika sudah besar nanti seperti mamanya.
Dua tenda pun telah dibangun. Anne dan Septian ditugaskan untuk jaga perkemahan dan memasang kursi dan makanan sedangkan Qia dan Hwan menacri ranting keirng untuk mereka buat api unggun nanti malam.
Semua berjalan lancar seperti yang Qia rencanakan. Anak-anak melakukan semuanya dengan baik tanpa mengeluh. Ia bisa melihat kedekatan mereka bertiga. Qia memasang kaca mata hitamnya kemudian duduk di kursi lipat sambil memperhatikan ketiga anak remaja di depannya bermain catur.
"Kenapa kalian ga lihat-lihat danaunya? Mumpung masih jam tiga, kalau sorean pasti airnya jadi dingin."
"Boleh, ma?" tanya Anne ke mamanya.
Qia membuka kaleng soda kemudian menyesapnya sebentar.
"Tenang. Kalau sama mama kalian boleh bebas. Mumpung gak ada papa," ujar Qia membuat Septian tertawa.
"Kalau gitu, ayo kita perahu yang tadi," ajak Septian yang berdiri terlebih dahulu. Ia menoel kepala Anne untuk ikut berdiri. Hwan juga menyusul meninggalkan Qia seorang diri yang bermain dengan ponselnya sambil menjaga tiga anak itiknya.
Septian melepaskan kaitan tali perahu yang mereka ikat di pohon terdekat dengan danau.
"Tunggu! Aku naik ini lebih dulu!" ujar Hwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANNE The Sweet Potato
Teen FictionMarianne Eka Wirya atau yang sering dipanggil Anne adalah gadis manis dengan berat badan yang berlebih. Orang sekitarnya memanggil dengan julukan Anne si Kentang. Bisakah Anne melewati masa-masa SMA-nya tanpa ada hambatan? Ilustrasi cover by Hasuu_n...