1. Haru yang Benci Kehilangan

643 31 0
                                    

Haru menatap nyalang ke arah matahari yang sebentar lagi pamit. Jiwanya kosong, sementara di dalam hatinya ia terus merutuki betapa dia membenci sore ini. Dia merasa begitu sial dan putus asa.

Tidak ada yang bisa Haru ceritakan tentang dirinya. Kecerdasan dan tampang yang pas-pasan, ekonomi keluarga yang minim, juga cita-cita yang sebatas lulus sekolah menengah. Tidak ada yang spesial. Hanya seorang gadis menengah ke bawah yang entah bagaimana lebih dipilih bumi untuk hidup dibanding ibunya. 

Satu-satunya hal yang selalu ia banggakan adalah karena dia mampu bertahan hidup meski kondisinya nyaris melarat. Sebuah kemampuan khusus yang menurutnya hanya bisa dia dapat karena dia adalah anak dari seorang penjual odeng bernama Donghae Lee.

Haru tersenyum meski getir. Dia senang ketika sedikit mengingat suara tawa ayahnya. Kebahagiaan yang tidak muluk-muluk penyebabnya,




yang sialnya harus hilang, karena Donghae Lee telah pergi siang ini. 

Sebuah kepergian abadi tanpa kata pamit.



Sial. Air mata Haru menetes lagi. 


"Haru Lee," panggil wali kelas Haru dari luar ruang kelas. Dia menginterupsi kelas matematika hanya untuk memanggil Haru dengan wajah cemas.


Haru benci jika dia harus ingat, pagi ini dia sangat malas masuk sekolah. Dia ingin merawat ayahnya yang sakit sejak malam tadi, dengan suara batuk melelahkan yang membuatnya tak tega hati.

Dia masih ingat kejadian siang itu.


"Haru, janji sama Ibu, kamu harus kuat."

"Ada apa, Bu?"

"Kepolisian baru saja menelepon sekolah. Ayahmu, Haru. Ayahmu, Tuan Donghae Lee, namanya ada dalam daftar korban kecelakaan di pusat. Sekarang jenazah ayahmu sudah dibawa ke Rumah Duka Timur. Mau Ibu antar ke sana?"


"AAAAAAA! SIALAN! SOPIR TRUK KEPARAT! KENAPA BUKAN KAMU SAJA YANG MATI? KENAPA HARUS AYAHKU?" 

Haru berdiri dan menendangi kerikil-kerikil kecil di sekitarnya. Mereka berjatuhan dan beberapa terhempas begitu saja ke arah sungai. Dia muak dengan kenyataan bahwa "pembunuh" ayahnya masih hidup dan bisa mensyukuri sisa hidupnya sambil menunggu sanksi yang cocok untuknya. 

"DASAR SIALAN! SOPIR TRUK SIALAN! AAAAA!" 

Haru menjerit dan membabi buta. Dia mencabik tanah dan rerumputan di sekitarnya sambil terus menendang-nendang. Wajahnya merah, suaranya parau, pikirannya kacau dan hidupnya begitu muram. Masa depan yang sudah dia rancang sesederhana mungkin itu sekarang tampak berantakan dan mustahil digapai. 

"Ya Tuhan, kenapa harus Ayah?" Haru mulai meninju tanah yang tak punya dosa. Dia mulai berdesis, seiring kekuatannya menipis dan membuatnya sulit meraung-raung. "Kenapa... harus orang sebaik Ayah?"


Air matanya jatuh satu persatu. Dia bisa melihat sedikit, di balik penglihatannya yang buram karena genangan air. 


"H-halo."

Haru berhenti terisak. Pikirannya kembali jernih meski sedikit. Dia menoleh ke asal suara di belakangnya, untuk mendapati seorang pria yang separuh wajahnya tertutup rambut depan dan topi hitam. Jarinya juga masuk ke dalam saku hoodie putihnya yang digulung sampai siku. 

"Selamat sore. Kamu Haru Lee ya?"

Haru mengangguk.

"Selamat sore, Haru Lee. Kamu anaknya Tuan Donghae Lee?"

Haru mengangguk lagi.


Orang itu mengambil posisi untuk duduk di samping Haru. Sementara Haru kembali meratap dan mulai memeluk kakinya agar dekat ke dada, orang itu menatap Haru sekilas. Benar-benar sekilas, sebelum akhirnya menunduk dan menatap penuh sesal ke arah matahari terbenam.


"Kamu boleh pukul aku sampai aku mati sekalipun."


Haru terkejut. Dia segera menoleh, melihat orang di sampingnya. Tidak begitu jelas, wajah itu masih tertutup topi dan rambutnya yang tebal mengilat. Sedikit, dia hanya dapat melihat senyum ragu yang cenderung dipaksakan di ujung bibir orang itu.


"Hah?"


"Jika saja ada cara yang lebih baik untuk minta maaf, aku akan melakukan apapun."

Haru terdiam, masih tak mengerti maksud pria di sampingnya.

"Aku Jeno Lee. Aku yang bertanggung jawab atas kematian ayahmu."


Orang itu, Jeno Lee, menoleh ke arah Haru. Dia menatap mata Haru tanpa sedikit pun ketakutan, meski dia tahu Haru sudah di ujung murka. 


 "Aku—"


BUG.

Kata-kata Jeno terputus. Haru baru saja melayangkan tinju ke arah rahang Jeno, sampai pria itu terbaring meski masih sadarkan diri. 

"BAJINGAN!" 

Haru menjerit, sambil terus memukuli pria di hadapannya. Sesekali menarik dan menghentakkan tubuh Jeno ke tanah, kemudian menghajarnya lagi dan lagi. Wajah pria itu sudah penuh memar, sedikit lecet dan berdarah. 

BUG.

"SIALAN!"

Haru menarik kasar rambut pria itu. Topinya sudah jatuh dan hanyut di sungai sejak pukulan pertama. Sekali lagi dia memukul pria yang tanpa perlawanan itu.

"AYAHKU! AYAHKU SALAH APA?" 

Haru meraung putus asa sambil tangannya masih terus memukuli orang di bawahnya itu. Dia sudah hilang kewarasan. Entah apa yang dia pikirkan ketika memukuli orang bernama Jeno Lee itu dengan bengis dan tanpa ampun. 

"M-maaf."

"AYAHKU—"

Haru berhenti. Sedikit akal sehatnya kembali. Dengan air mata berlinang, dia menatap korban kekerasannya yang sudah begitu kacau dan bertabur lebam di sana sini. Haru tak bisa berkedip sama sekali.


"Ayah..."

Air matanya lolos begitu saja. Mengenai hoodie Jeno Lee yang masih dia remat kencang-kencang.

"K-kenapa... berhenti?" tanya Jeno dengan senyum kecil. Seolah begitu lapang dada untuk dipukuli lagi dan lagi.


Air mata Haru turun lagi, lebih deras dari tadi.

"Ayah..."


Ya. Ayahnya.


Jeno Lee itu benar-benar mirip dengan ayahnya.


---

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang