22. Kebohongan Putih

94 21 5
                                    

TOK. TOK. TOK.


"Jeno," panggil Jaemin dengan lembut. Setelah ia berhenti mengetuk pintu kamar mandi itu, tak ada suara lain yang menggema selain desah nafas Jeno yang begitu berat dan menyakitkan. 

Rasanya begitu lama Jaemin menunggu jawaban. Jeno tetap berdiam di balik bilik itu, sambil berusaha menetralkan nafasnya yang kacau. Perlahan, desah itu berubah menjadi mengi.

"J-jeno."

BRAK. BRAK. BRAK. 

Jaemin mulai panik. Ia menampar pintu bilik itu kuat-kuat. Matanya mulai berair seiring mulutnya tak berhenti menyerukan nama Jeno. 

"Jeno!"

BRAK. BRAK.

"JENO! JENO, BUKA, SIALAN!" Tamparannya pada pintu itu semakin cepat dan tak beraturan. Sama seperti keringatnya yang mulai membanjiri dahinya. "JENO! SIALAN! BUKA!"


"Uhuk. Uhuk." Jeno kembali batuk. Tak lama, ia kembali bernafas dengan sesak. Ia terengah, dibarengi dengan suara tinggi yang menukik di belakang, lalu kembali batuk. 

"JENO!" seru Jaemin. Ia lalu menonjok pintu itu dengan kasar. Merasa frustasi, lalu terisak sambil mengacak rambutnya kasar. Wajahnya sudah merah seluruh. Ia sudah menemukan Jeno kembali, ia tidak mau kehilangan Jeno lagi.

Setelah bunyi tonjokan kamar mandi tadi, Jaemin yang mulai tenang di tengah sunyi kini dapat mendengar suara sesak Jeno lagi. Tubuhnya merosot lemas. Ia duduk di lantai kamar mandi dengan mata berlinang. Kondisi memaksanya untuk terus mendengar suara miris Jeno tanpa berkomentar lagi.

"J-jaemin..." panggil Jeno dengan nada yang gemetar. Ia masih sangat terengah.

"Hng?"

"S-sakit..."


"Ayo ke dokter, Jeno. Apa yang kamu takutkan?" ujar Jaemin dengan lembut. Bagaimana pun, ia seharusnya sadar bahwa sahabatnya itu sedang tak mampu berpikir jernih.

"Uhuk. Uhuk." Jeno terbatuk lagi. "Aku... sudah tidak punya uang," ujar Jeno terbata-bata.

"Jeno, pakai tabunganku."

"T-tidak. Aku juga━" Jeno mengambil jeda sebentar, untuk mengusaikan sesaknya. "━aku juga, tidak percaya lagi. Sia-sia. Semuanya. Uhuk. Uhuk."

"Buka dulu pintunya," kata Jaemin. Tak lama, ia mendengar bunyi kunci dari balik bilik yang Jeno tempati. Bunyi itu lalu disusul dengan gerak pintu yang terbuka dengan lambat.


"J-jeno," 

Tidak. Jaemin tidak pernah menyangka akan melihat Jeno dengan tampilan yang sebegini kacaunya. Pemuda itu bahkan sudah tidak kuat berdiri. Ia terduduk lemas di lantai, dengan kepala tersandar pada bibir kloset. 

Wajah dan telinganya memerah dan rambutnya berantakan. Beberapa lebam memenuhi lengan dan betisnya yang sedikit tersingkap. Tangan pemuda itu mencengkeram kemejanya, tepat di bagian dada. 

"Aku sudah lelah, Jaemin." 

Kini, Jaemin dapat melihat seberapa sesaknya Jeno. Ia mulai berpikir bahwa temannya sudah berjuang sejak lahir, dan memilih untuk menyerah bukanlah suatu langkah yang berlebihan. Ia hanya terlalu lelah. 

Oh, menyaksikan Jeno yang sekarang membuat Jaemin menyadari, Jeno benar-benar sudah penat. 

"Tidak kasihan sama Ayah?" tanya Jaemin. 

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang