38. Garis Putus-Putus

70 6 0
                                    

Jeno akan dimakamkan pagi nanti, dan Jaemin memilih meringkuk sambil terisak di depan nakas sambil memeluk erat beberapa helai baju Jeno yang diambilnya sebelum di hari kematian ayah Jeno. Jaemin memang kembali ke ruangan itu untuk mengambil barang-barang Jeno yang masih tertinggal di ruangan. 

Rambutnya berantakan seperti perasaannya. Ini adalah ketakutannya sejak bertahun-tahun lalu. Ia tak menyangka hari ini tiba dengan begitu memilukan.

Jaemin menyesali 'keluguannya' untuk pergi begitu saja percaya pada Jeno soal gerhana. Sekarang dia mengerti. Jeno cuma membual agar ia tak punya siapapun di sisinya saat pergi. 

Jaemin sangat kalut sekarang. Tapi ia tak sadar bahwa Haru━yang juga meringkuk di belakangnya, sejak tadi hanya bisa terisak pelan. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dihadapinya. Ia ingin menangis dengan keras, tapi kepedihan Jaemin yang tampak amat dalam telah melarangnya begitu.


Dan ketika sebuah suar sinar bulan meringsek masuk ke ruang rawat inap Jeno yang muram, Jaemin terperangah dan berdiri. Pikirannya semakin kalut saat ia mendapati kusut pada tirai jendela━seperti baru saja diremat kuat-kuat. Ia masih tak sadar jika mata Haru bergerak mengekori pergerakannya. 

Napas Jaemin tercekat. Ia terus menahan rasa sakitnya dengan cara seperti itu sejak keluarganya bangkrut, dan ia menyesal karena tak pernah ada di samping sahabatnya itu saat sedang mati-matian merasa kesakitan. Jaemin kalap dan berjalan bolak-balik sambil menjambaki rambutnya.

"ARRRGHH!" BUG. Ia menendang nakas di sampingnya beberapa kali, membuat laci nakas itu terjatuh keluar, membuat isinya terhempas berantakan. 

"AARRGHH! AHAHAHA!" BUG. Ia meninju dinding di atas nakas itu sambil terus menangis kalut. 

"K-Kak Jaemin! Kak Jaemin! Udah, Kak!" Haru berusaha sigap menahan lengan Jaemin, namun tenaganya tak cukup kuat.

BUG. Mata Jaemin menajam. BUG. Lagi. BUG. BUG. BUG.

"Kak Jaemin!"

Tidak, Jaemin tak berniat untuk berhenti. BUG. BUG. BUG. 

"Kak Jaemin!" jerit Haru. Ia memeluk tubuh Jaemin dari belakang, menarik pria itu menjauh dari dinding. "Kak Jaemin, udah... Udah... Nanti sakit..."

Kaki Jaemin melemah. Ia menyadari betapa tubuh dan tangan Haru gemetar. Gadis itu terus terisak di belakangnya sambil memohon agar Jaemin berhenti meninju dinding dan menyakiti dirinya sendiri. 

Seluruh tubuh Jaemin merosot begitu saja. Ia menunduk sambil tangan kanannya yang dilumuri darah berusaha menggenggam tangan Haru, berupaya menenangkan gadis itu sekaligus menenangkan dirinya sendiri. Air mata Jaemin mengalir deras  dan seluruh wajahnya merah padam. Bahunya naik-turun karena terisak begitu kuat. Malam itu, Jaemin berbagi suka dan duka yang begitu dalam bersama Haru. 

Di balik punggung Jaemin, Haru yang sudah lebih tenang mulai mencoba membuka mata, menemui ruangan yang begitu muram. Tidak ada Jeno, dan ia terkurung dengan rasa bersalah yang besar bersama Jaemin di sini. Ia hampir kembali memejam jika matanya tak menemukan sesuatu━



━salah satu gulungan suratnya pada Jeno. Surat yang dicuri Jisung darinya dan diberi pada Jeno tanpa persetujuannya. Surat itu sepertinya terlempar keluar dari nakas ketika lacinya jatuh tadi. 


Selamat pagi, Jeno Lee. Selamat pagi, orang baik yang telah membawakanku dunia baru. Aku harap tidak pernah ada malam untukmu, seperti adanya malam untuk ayahku. Karena seperti yang selalu kita tahu, kamu benci kegelapan, dan aku benci kehilangan. Aku tidak ingin kamu ataupun aku harus menghadapinya.


Kaki Haru melemah seperti tubuh Jaemin. Ia memejamkan matanya sambil terus mengingat-ingat percakapannya dengan Jeno siang tadi. Semua percakapan tentang gerhana bulan dan ketakutan.

"Haru Lee. Ada gerhana bulan malam nanti. Aku sangat ingin melihatnya bersama kamu dan Jaemin."

"Kenapa ingin? Bukannya kamu takut gelap?"

 "Karena aku ingin menghadapi ketakutanku."

Haru mengeratkan pelukannya pada Jaemin, menahan perasaan nyeri di dadanya yang tak kunjung reda. Ia menyesal telah berjanji untuk menghadapi ketakutannya, sesuatu yang juga ia benci,

kehilangan. 

"Aku janji setelah ini aku tidak akan takut lagi. Kamu juga, jangan takut apapun lagi. Setelah ini kita berjuang sama-sama. Ya?"

"Baiklah. Setelah ini, janji akan mulai lembaran baru? Kita hadapi ketakutan kita sama-sama. Ya? Kamu tidak akan takut kegelapan lagi dan aku tidak akan takut tinggal sendirian lagi. Janji?"

"Ya, aku janji."


Haru menggeretakkan gigi. Ia baru menyadari bawha ia salah mengira. Ketakutan yang Jeno maksud━yang harus dihadapinya setelah 'gerhana' itu━bukanlah ketakutan untuk tinggal seorang diri, tapi ketakutan akan kehilangan. 

Haru tak dapat menghapus bayang senyuman Jeno dari benaknya. Dalam hitungan detik, kepalanya dipenuhi memori beruntun tentang Jeno yang tak mungkin ia lihat lagi. Dadanya terasa sangat berat, dan tanpa disadarinya, ia sudah terisak keras di punggung Jaemin. 


Jaemin seperti mendapat kekuatan untuk bisa menenangkan Haru. Ia lalu menggenggam punggung tangan Haru, memaklumi kepedihan gadis itu. Namun jemari Haru yang dingin membuatnya kembali berduka dengan teramat. Keduanya menangis semalam suntuk hingga kepedihan sedikit demi sedikit menguar ditelan waktu dan pergantian musim yang kuat.


Malam yang dingin berlalu dan larut sebagai suatu kenangan pahit dan hari-hari lain yang tak kalah panjang datang silih berganti. Jaemin, Haru, Johnny, Dokter Kim, Dokter Kang, Yeji, dan bahkan Jisung...


... tidak satu hari pun bisa mereka lalui tanpa mengenang Jeno Lee.


---


Sampai jumpa di chapter terakhir ^_^

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang