27. Matahari yang Terbit Pukul 9 Pagi

86 19 0
                                    

Waktu telah sampai ke dini hari, dan Jeno sudah siuman sejak tadi meski belum banyak bergerak. Hanya sesekali berkedip, menggerakkan mata, tersenyum tipis, dan bicara meski samar-samar.

Saat ini━sebenarnya sejak Jeno pertama siuman tadi━hanya Jaemin yang masuk ke dalam. Ia sepertinya enggan keluar. Haru dapat melihat seberapa Jaemin merasa bersalah pada Jeno, entah apa yang membuatnya merasa bersalah.

Sementara itu, Haru dan Johnny hanya dapat melihat dari jendela ruangan yang terbuka tirainya. 

"Sepertinya keadaan Jeno sudah lebih baik," ujar Johnny. Haru menoleh sebentar, lalu mengangguk. 

"Kak Johnny sudah tahu soal Jeno Lee ya?" tanya Haru.

Johnny mengangguk. Ia lalu menatap Haru dengan hati-hati. Sejak awal, ia sudah dapat membaca kekalutan di raut gadis itu. Wajah tegas yang biasa ia tampakkan kini luntur seluruh. Menyisakan kerapuhan dan ketakutan yang mendalam. Mungkin, ia juga menyesal karena tidak menyadari bahwa Jeno tengah kesakitan sebelumnya.

"Kenapa... cuma aku yang tidak tahu?" gumam Haru dengan nada lirih. Jika saja ia bisa berpikir jernih, dengan isi kepalanya dan bukan dengan emosinya, ia pasti sudah memaklumi keputusan Jeno untuk merahasiakan semua hal itu dari Haru, tapi sayangnya, Haru masih terlalu muda untuk menggantikan luapan emosionalnya dengan logika.


Johnny lalu mengusap bahu Haru dan tersenyum. "Ia pasti punya alasan. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Oke?"

Haru mengangguk meski ragu. "Bukankah aku orang yang sangat kejam? Pantas saja dia sangat ingin ayahnya bebas."

Johnny tak memberi tanggapan. Ia justru fokus pada sorot mata Haru yang sayu dan menyayat. Oh, Johnny tak sebodoh itu untuk menyadari bahwa selain penyesalan, ada rasa cinta yang bersemayam di dalam tatapan gadis itu.

"Sudahlah, Haru. Kamu harus sekolah kan, nanti pagi? Lebih baik sekarang kamu istirahat. Mau aku antar pulang?" tanya Johnny.

Haru menggeleng. "Aku akan di sini saja."

"Tapi jangan melewatkan sekolahmu ya."

Haru tak memberi respons. Ia sangat bimbang. Jika saja memungkinkan untuk tetap tinggal, ia ingin. Hanya saja, ia merasa tidak begitu diperlukan di sini. Lagipula, ia sudah membolos kemarin, ia tidak mungkin membolos lagi hari ini.


---


"Anda tidak bicara sendiri pada anak Anda  tentang sidang besok?" tanya Polisi Jung dari luar sel. Polisi muda itu memang sengaja mendekatkan diri pada ayah Jeno karena rasa kagumnya pada putra dari pria tua di dalam sel sana.

Pria itu menggeleng. Oh, benar. Lagipula ingin menghubungi pakai apa? Jeno tidak punya ponsel maupun telepon rumah. Bahkan surat pemberitahuan sidang pun diantar langsung ke rumah Jeno.

"Untuk apa? Bukannya sudah kalian antar ke rumah?" Pria itu berpaling dari Polisi Jung, menatap ke sembarang arah dengan tatapan yang pilu. "Aku bahkan tidak mau dia datang."

Polisi Jung tersenyum. Nuraninya━yang membuatnya bersikap tak profesional akibat rasa iba━sangat ingin pria tua itu bebas. Namun, entah bagaimana, sidang harus tetap berlaku.

"Anda tahu, Pak? Anak Anda berkali-kali datang ke sini dan dua kali kami interogasi karena mengaku sebagai penyebab kecelakaan. Dia ingin sekali menggantikan Anda." Polisi Jung menghela nafas. "Dia benar-benar anak yang baik."

Tuan Lee tersenyum. "Dia memang sangat baik. Tidak pernah menyulitkanku sejak kecil."

Layaknya seorang ayah yang sangat mencintai putranya, pikiran Lee melalangbuana ke masa lalu, di mana ia dan keluarga kecilnya berbahagia dengan segala kekurangan yang Jeno miliki. Oh, Lee tidak pernah merasa Jeno membebaninya, menyebabkan kebangkrutan untuk keluarganya. 

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang