29. Gerhana untuk Jaemin

80 16 0
                                    

BRAK. Pintu minimarket terbuka dengan kasar, seperti baru tertabrak sesuatu. Johnny yang tengah menikmati tenangnya pagi sambil menyesapi kopi hangat seketika tersentak.

"Ya Tuhan!" Johnny berdiri, berusaha menemukan apa yang baru saja terjadi. Hanya butuh sepersekian detik, sampai mata pria itu membola ketika ia menemukan Jaemin terduduk lemas tepat di depan pintu yang masih bergerak menutup dengan sangat lemah.

"Astaga! Jaemin, ada apa?" Johnny melangkah panik. Jaemin yang ceria, yang selalu tampak seakan mengemban mentari pagi di punggungnya, kini harus menatap nyalang ke sudut meja kasir. Tampilannya sungguh berantakan, terutama rambutnya yang lari ke sana ke mari, dengan sedikit bagiannya basah, menempel di dahi dengan tidak beraturan. 

Ketika Johnny tiba di hadapan lelaki itu, Jaemin masih tak menjawab. Sudah beberapa kali ia menginterupsi ketermanguan Jaemin dengan menggoyangkan bahu pria itu. Hanya saja, ia selalu gagal. Kedua belah bibir Jaemin masih terkatup rapat, tampak sedikit gemetar seperti kedua tangannya yang masih setia menyentuh sebuah tas hitam di hadapannya.

"Jaemin? Demi Tuhan! Ada apa?"

Jaemin sungguh ingin menjawab, tapi ia tidak mampu. Pikirannya hanya tertuju pada Jeno, bagaimana sahabatnya itu membuang semua hal indah dalam hidupnya karena ia takut akan kepergian, bagaimana sahabatnya itu terus mengusahakan yang terbaik yang ia bisa, bagaimana ia berpikir ia akan pergi lebih dulu dibanding siapapun, dan bagaimana ia ingin Jaemin jadi dokter hanya untuk menjaga ayahnya.

"Jeno." Sekali lagi, seberapapun Jaemin mau menceritakan segalanya pada Johnny━seperti niat yang membawa langkahnya kepada Johnny dan bukannya ke rumah sakit━nama Jeno tetaplah menjadi satu-satunya kata yang dapat ia tuturkan. "Jeno."

"Jeno kenapa? Hei! Jaemin! Demi Tuhan, jawab aku!"

Air mata Jaemin menitih, bahkan matanya tak berkedip barang sedikit. "Ayahnya..."

Johnny mengerutkan dahi. Sekelumit perasaan tak enak mulai menyerang sanubarinya. "Kenapa ayahnya?"

Dengan tangan gemetar, Jaemin menangkup wajahnya, menutupi kedua matanya yang bengkak dan akan segera mengeluarkan air mata lagi. Jaemin terisak. Dengan suara kecil yang sama sekali kecil dan penuh pilu, ia berujar, 


"Ayah Jeno sudah pergi."

Dan setelah kalimat Jaemin selesai, Johnny segera menghambur ke arahnya. Pria yang lebih tua itu berusaha menenangkan Jaemin. Ia berupaya merengkuh erat-erat tubuh Jaemin yang sudah gemetar seluruhnya.

"Aaaa!" Isak tangis Jaemin begitu kuat dan pilu, seperti berusaha melontarkan isi hatinya yang pedih. Dan Johnny? Dengan segala kebingungannya, hanya dapat memeluk Jaemin dengan semakin erat dan erat. "Jaemin..."

"Aku harus bilang apa ke Jeno? Dia bekerja keras agar ayahnya bisa keluar! Haru━ Haru sialan!" 

"Jaemin!" Johnny menepuk keras punggung Jaemin. Berusaha menyadarkan pria itu, menghindarkannya dari kebencian pada Haru━yang sedikit banyaknya telah tergambar pada nada dan cara bicara Jaemin barusan. "Jangan menyalahkan Haru!"

"Jeno sudah melakukan semua biar ayahnya bisa keluar, kan? S-semua... Tapi kenapa? Kenapa dia tidak luluh juga? Sampai semua jadi seperti ini?" Cara bicara Jaemin berubah. Meski masih sekalut sebelumnya, ia tak lagi bicara dengan marah, namun dengan nada kecewa yang bergetar hebat. 

"Jaemin," panggil Johnny. Tangannya tak berhenti menepuk punggung Jaemin, berusaha menenangkannya. 

"Jaemin." Ia melakukannya sekali lagi, tanpa menghentikan pergerakan tangannya.

"Jaemin." Sekali lagi, sampai ia dapat merasakan debar jantung Jaemin yang membara telah padam secara perlahan. Ia berusaha meredam emosi Jaemin hingga gemetar dan suhu tubuhnya berkurang secara perlahan. Sungguh sangat perlahan sampai berubah tenang.

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang