6. Agar Terus Hidup

109 19 0
                                    

"Terus kenapa kamu keluar dari pekerjaanmu itu? Kerja di ekspedisi kan gajinya lumayan. Yah, dibanding kerja di sini, setidaknya," kata seorang manajer minimarket berkemeja biru muda itu. Di dadanya tersemat sebuah pin nama bertuliskan "Johnny Suh". 

Nama yang cocok dengan penampilannya, batin Jeno. 

Ini sudah ketiga kalinya Jeno menyisir penampilan Johnny dari atas ke bawah. Tingginya tujuh hingga sepuluh meter di atas pria itu, sekitar 185 cm, mungkin? Dengan rambut klimis berlapis pomade, kemeja polos yang lengannya tergulung sampai di bawah siku dan jam tangan silver yang melingkari pergelangan tangannya, ditambah celana bahan hitam yang senada ikat pinggang dan sepatu kulitnya.

"Tuan, aku bicara padamu," tegas pria itu.

"A-ah, maaf," ucap Jeno tak enak. Sial, rasa irinya jadi meledak-ledak.

"Sesuatu mengganggu pikiranmu?" tanya Johnny dengan raut wajah khawatir. Ia tampak sangat berusaha menelan rasa kesalnya. 

Jeno menggeleng canggung. "Y-ya, tidak."

"Jadi, ya atau tidak?" canda Johnny.

Jeno yang awalnya tertunduk mulai sedikit demi sedikit menengadahkan kepalanya. Berusaha menatap langsung wajah Johnny.

Ketika mata keduanya bertemu, Johnny memundurkan wajahnya. Dia tersentak, menyadari sebuah pilu yang entah bagaimana tergambar jelas di dalam mata pria di hadapannya. Tatapan itu seolah menjadi isyarat, bahwa pemiliknya ingin berteriak, atau bahkan melolong minta tolong.

"Oh, Dude. Sesuatu baru terjadi padamu?" 

Jeno tertegun. Bagaimana dia tahu?

Johnny tersenyum menang, menenangkan. Tentu aku tahu. Aku lulusan psikologi, tahu.

"Kamu diterima. Bekerjalah dengan jujur dan disiplin. Nanti kamu bisa bantu di bagian stok. Kebetulan untuk kasir, sudah ada karyawannya sendiri."

Wajah Jeno berubah sumringah. Dia tersenyum seolah satu bebannya gugur begitu saja.

"Terima kasih, Pak! Terima kasih banyak!" ucap Jeno semangat, sambil ia terus membungkuk pada Johnny di tengah gelora bahagianya. Dia benar-benar merasa tertolong.

Melihatnya membuat Johnny tertawa. Dia jadi ingat adiknya yang selalu berlebihan dalam berterima kasih. Namanya Mark, dan dia sedang sekolah di Toronto. Mungkin usianya sama dengan Jeno. Hanya saja, Mark jauh lebih beruntung karena dikaruniai otak yang sangat cerdas dan keluarga yang suportif dalam pendidikan. 

"Aku panggil kamu Jeno saja, ah. Hehe. Boleh tidak?" ujar Johnny, berusaha mengakrabkan diri. 

Pergerakan Jeno berhenti seketika. Dia sudah tidak lagi membungkuk-bungkuk seperti tadi. Kini dia lebih sibuk menatap Johnny tidak percaya. "B-boleh, Pak."

Johnny tersenyum. Tangannya mulai bergerak menjamah sebotol air isotonik pada rak yang ada di sebelah kirinya. Sekenanya, lalu apa yang ia dapat segera ia lemparkan pada Jeno. 

"Ini. Kado selamat datang dariku," ujar Johnny.

Jeno segera menangkapnya. "T-terima kasih, Pak."

"Jangan memanggilku 'Pak' begitu dong, memangnya kapan aku menikah sama ibumu?" canda Johnny. "Panggil namaku saja, atau panggil 'Kak'. Mulai hari ini kamu kuanggap adikku sendiri."

Jeno membelalak terkejut. Serius?

"K-kak Johnny... Apa tidak apa-apa?"

"Ya tidak apa-apa lah, kan aku yang minta." Johnny tertawa puas. "Jeno, aku mau tanya tapi jawab yang jujur ya."

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang