16. Sebuah Hari yang Panjang

83 16 1
                                    

Halo, semuanya!

Terima kasih masih sering mampir. Terima kasih juga untuk vote dan comment-nya.


Hari ini, untuk separuh kisah Haru, biarkan Jisung yang bercerita. 

Selamat membaca!

---


Jisung berhenti melangkah. Tawa riang Haru yang tampak darinya lewat jendela ruang kelas membuat ia lega. Sejak mereka pergi ke amusement park itu, Haru sudah terlihat jauh lebih baik. 

Menyadari seberapa manis wajah ceria pujaan hatinya itu membuat senyumnya melebar. Mata gadis itu kembali memancarkan aura bahagia—Oh tidak, bahkan ini lebih indah dari sebelumnya. 

"Syukurlah," gumam Jisung.

Kalau sudah begini, bolehkah Jisung percaya diri dan menganggap ia berhasil mengembalikan Haru yang bahagia? Bolehkah ia merasa menang dari pria yang waktu itu menjemput Haru? Entahlah. Jisung ingin egois dan merasa Haru miliknya jika begini.

Tapi Jisung terlalu baik hati untuk itu. Ia sadar betul bahwa Haru milik ayahnya. Kebahagiaan gadis itu pun miliknya sendiri. Ia mungkin seumur hidup hanya akan ditakdirkan menjadi guardian-nya saja. 


Dalam lamunnya itu, Jisung tertegun. Haru menyadari keberadaannya. Gadis itu kini melambai ke arahnya dengan senyum selebar dunia Jisung yang terpusat padanya. 

Jisung tersenyum. Ia lalu masuk ke ruang kelas, menghampiri Haru yang rupanya sedang bersama Jia. 


"Ada apa?" tanya Jisung dengan suara beratnya. Ketika ia tiba di hadapan kedua sahabatnya itu, pandangannya tak memihak pada Jia sedikit pun. Ia sudah terpanah oleh mata teduh Haru yang dibarengi senyum manisnya.

"Jisung," panggil Haru. Gadis itu menatap mata Jisung dengan lekat. Membuatnya sedikit salah tingkah. "Hari ini aku akan bertemu dengan orang yang menabrak Ayah. Doakan aku ya, semoga semuanya baik."

Jisung tersenyum. Tanpa diminta pun, ia pasti melakukannya. Tanpa berkata-kata, pemuda itu mengangguk. "Nanti mau ditemani?"

"Ah, tidak. Tidak usah, aku nanti sama temanku—"

Jia menyela, "Anak dari Si Bapak itu. Haru sudah baikan loh, sama dia."

Haru segera mencebik. "K-kata siapa? Tidak, tuh!"

"Kalau tidak baikan mana mungkin dianggap teman!" seru Jia.

"Siapa juga yang mau berteman sama dia!" seru Haru tidak mau kalah.

"Tadi kan kamu yang bilang sendiri!"

"Hah? Tidak! Makanya punya telinga itu dibersihkan."


Jisung sudah tak lagi mendengar perdebatan antara kedua bersahabat itu. Ia sibuk menyelami pikirannya sendiri. Bukankah orang itu yang sudah membuat Haru sangat kacau waktu itu? Orang yang selalu bilang kalau dia bertanggung jawab atas kematian Ayah Haru?

Kenapa?


"Jisung, kamu baik-baik saja?" tanya Haru tiba-tiba. Ia rupanya menyadari keterdiaman Jisung yang amat mendadak itu. 

Jisung memandang ke dalam mata Haru, menanyainya dengan kerut di dahi. Ia tidak mengerti. "Kamu bagaimana? Baik-baik saja?"

Kini, giliran Haru yang tidak mengerti. "Maksudnya bagaimana?"

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang