3. Tahanan yang Bebas Berpergian

177 25 3
                                    

"Tuan."

Seseorang menepuk bahu Jeno yang masih meringkuk di antara rumput-rumput liar. Dari jarak yang dekat begini, orang itu bisa melihat kulit tangan Jeno yang memerah dan bentol. Dia jadi iba sekaligus heran. Bagaimana bisa seseorang tertidur di halaman belakang rumah duka begini?

"Tuan!" seru orang itu, dia jadi semakin panik karena Jeno belum juga bangun. Keringat mulai mengaliri wajahnya. Pria paruh baya itu sangat ketakutan. Memang tidak mungkin kalau pria yang meringkuk itu hantu, tapi bagaimana kalau dia korban pembunuhan yang sengaja ditinggalkan di sini dan meringkuk karena sedang menahan sakit?


"Ah, sial! Kenapa harus aku yang temukan? Kenapa tidak temanku yang jaga malam saja?" gerutu orang itu sambil menggaruk kepalanya sendiri. 


"Tuan! Bangun! Ini sudah pagi! Ayo katakan padaku kalau kau cuma gelandangan! Hei!" seru orang itu, sambil akhirnya dengan tidak sabar mengoyak-ngoyak bahu Jeno geram. "Hei!"


"Hm..." 

Orang itu, petugas keamanan rumah duka yang sialnya sedang dijadwalkan shift pagi, sedikit bernapas lega. Pemuda di depannya masih hidup dan bisa bergerak.

"Tuan, sudah pagi. Kenapa Anda bisa tidur di sini?"

Jeno menengadahkan kepalanya sambil mengernyit karena kantuk. Dia melihat ke kanan-kiri, untuk menyadari bahwa hari telah pagi. "Oh, sudah pagi ya, Pak?"

Petugas keamanan itu mengerutkan dahi. Dia menatap wajah kantuk Jeno dengan terheran-heran.


"Kamu? Astaga! Ada apa dengan wajah tampanmu hah?"

"Hehehe. Iya, Pak, ini saya. Selamat pagi, Bapak."


Jeno tersenyum dengan hangatnya. 


---


"Hah? Apa kamu bilang? Memaafkan, katamu?"

Haru benar-benar tidak habis pikir dengan saran sahabatnya Jia. Itu semua terdengar seperti omong kosong. Sampai mati pun, jika dia harus memilih antara masuk neraka atau memaafkan Jeno Lee atau harus masuk neraka, dia akan jauh lebih memilih masuk neraka. Dia akan merasa jauh lebih terhormat.

"Haru..."

"Jia, dia sudah membunuh ayahku. Satu-satunya harta yang aku punya. Jika aku punya kesempatan untuk bicara di pengadilan, aku ingin pemuda itu dihukum seberat-beratnya."

"Pemuda?" Jia menatap Haru kebingungan.

"Ya. Bisa jadi kan dia mengendara sambil mabuk?"

"Jia, sopir truknya tidak mengendara sambil mabuk dan dia bukan seorang pemuda."

Haru mengerutkan dahi. "Maksudnya apa sih? Jelas-jelas dia meghampiriku kemarin untuk bilang maaf dan menawarkan ganti rugi. Sialan sekali dia! Dipikir nyawa ayahku bisa diganti pakai apa?"

"Haru, menurut berita, yang menabrak ayahmu itu kakek-kakek berusia enam puluh delapan tahun, sudah diamankan di kantor polisi dan mengaku bersalah."


Haru mengernyitkan dahi tak mengerti. Jadi Jeno Lee yang kemarin itu siapa?


"Memangnya kamu belum ketemu orangnya kemarin?"

Selamat Pagi, Jeno Lee [NCT Jeno]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang