4.

8 5 1
                                    

"Lexa, bangun!" teriak Andrea sembari mengguncang tubuh Lexa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lexa, bangun!" teriak Andrea sembari mengguncang tubuh Lexa. Wajahnya panik, tak ada bedanya dengan dua lelaki yang berdiri di belakangnya. Pasalnya Lexa terus merintih kesakitan, bahkan menjerit. Keringat mengucur membasahi seprai yang ia tiduri.

Padahal sepulang sekolah tadi, Lexa hanya istirahat tidur siang. Matanya lelah karena semalam tidurnya terganggu. Tapi, siapa sangka jika hal seperti ini terjadi lagi?

Lexa tetap tidak membuka mata. Tidak ada perubahan. Justru semakin menjadi. Tiba-tiba tubuh Lexa menegang. Tangannya meremas seprai. "T-tolong ...."

Axel berlari ke luar kamar Lexa. Tak berselang lama, ia kembali membawa sesuatu di genggamannya. Axel menarik tangan Lexa dan membuatnya menggenggam sesuatu dari tangan Axel. "Ayolah, Lexa, kamu bisa. Lawan, Lex!" lirihnya tegas.

Chandra terus mengelus kepala Lexa dengan tangan yang berkeringat, dan membisikkan doa di telinga Lexa. Andrea berdiri di belakang Chandra. Ia menangis dalam diam. Kedua tangan Andrea menutup mulutnya begitu Lexa menjerit panjang. Jantungnya berdebar takut serta khawatir.

Setelah itu hening. Napas Lexa memburu. Namun, tak lagi berteriak juga merintih. Perlahan napasnya teratur. Tubuhnya berubah panas.

"Pa, Lexa kenapa?" Andrea memeluk lengan Chandra yang berdiri di sebelahnya. Chandra hanya menggeleng tak mengerti.

Axel terus menggenggam kedua tangan Lexa yang panas. "Ma, Lexa butuh kompres. Dia demam."

Andrea mengangguk mengerti. Ia segera pergi ke dapur dan menyiapkan yang diminta Axel tadi. Sedangkan Chandra harus kembali bekerja. Kali ini ia dapat shift malam. Jadi harus pergi dari sebelum matahari terbenam. Tak lupa Chandra mengecup kening keluarga tercintanya.

"Xel, jagain Lexa. Papa tahu kamu bisa mengerti apa maksud Papa," pesan Chandra yang diangguki Axel.

Mata Lexa mengerjap lemah. Ia menatap jendela kamar yang sudah tertutup tirai. Sudah malam. "Udah malam?" Kemudian Lexa menolehkan kepala ke arah kanan. Tangannya bergerak mengusak surai hitam kecokelatan di sebelahnya.

Terusik. Si empunya surai itu terbangun. Ia mengucek matanya dan menatap Lexa lekat. "Gimana keadaan kamu? Masih sakit? Pusing, gak? Haus? Aku ambil minum dulu."

Belum sepatah kata pun Lexa lontarkan, Axel sudah berlari ke luar kamarnya. Tak lama, Axel kembali membawa segelas air putih. Lexa meneguknya, dibantu Axel yang menahan tubuhnya agar dapat duduk.

"Tidur lagi, Lex. Ini udah malam. Tengah malam malah. Lihat, udah jam 23.36." Axel menyentuh kening Lexa. "Panasnya udah turun."

"Aku ... gak mau tidur, Kak. Aku takut," lirih Lexa, "hanya tidur siang aja, aku langsung mimpi buruk. Aku berusaha bangun, tapi gak bisa. Aku bisa dengar Papa, Mama, sama Kak Axel manggil aku. Tapi, aku gak bisa bangun. Aku berusaha melawan dengan segenap tenagaku. Sampai akhirnya semua benar-benar gelap."

The Secret UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang