14.

3 0 0
                                    

Sepi meninggi. Hanya ada embusan angin dan gemersik daun dari pepohonan, serta hewan malam. Pikiran mereka berkecamuk. Perkataan Axel ada benarnya. Meninggalkan Axel dan Lexa sebentar untuk mencari pertolongan bisa jadi pilihan yang bagus.

Mereka mengangguk ragu, hampir mengatakan bahwa mereka setuju, sebelum akhirnya suara serak menginterupsi keheningan di sana.

"Lu ... mau sendirian lagi, Xel?"

Serentak semua pasang mata tertuju pada persona yang terbaring di bangku tengah. Netranya meredup, bibirnya mulai membiru antara kehabisan darah juga kedinginan. Kaki kirinya diangkat dengan ganjalan bantal.

"Rafa, jangan banyak omong. Simpan tenaga lu. Gue gak mau lu kenapa-kenapa," tegur Axel, "kalian lebih baik buruan pergi."

Dion menatap Lexa yang sudah berdiri di sebelah Axel dengan tangan menggenggam erat hoodie Axel. Sekejap, netra Dion dan Lexa bertemu. Ada sirat takut dalam mata Lexa.

"Aku stay." Dion memberanikan diri berjalan mendekat ke arah Axel yang beberapa senti lebih pendek darinya. "Biarin aku temenin Lexa, Xel."

Axel menatap Dion lekat. Dion membalas tak kalah serius. Ia tahu, sekalinya ia berpaling, maka Axel tidak akan pernah percaya lagi padanya. Lexa yang berada di dekat mereka hanya memerhatikan dengan seksama. Mereka lagi telepati? batinnya.

Mendengkus. Axel menepuk pundak Dion setelah hampir satu menit mereka bersitatap. "Jagain adik gue." Senyum Dion mengembang, membuat matanya menyipit lucu.

"Udah dramanya?" Pertanyaan sarkas Syera memutus euforia yang tengah Dion rasakan. "Gue memilih pergi. Bisa gila kalau gue bertahan di sini. Ayo, Noel!" Noel masih diam, tangannya memegang erat kotak P3K cadangan. "Noel?"

"Syera, jagain Rafa, ya? Pastikan kaki kirinya diangkat. Cepat cari bantuan. Lebih cepat lebih baik," pesan Noel yang sudah berada di sebelah Lexa.

Syera berdecih, "Kalian temen tergila yang gue punya." Ia menduduki kursi kemudi setelah menutup semua pintu, lalu membuka jendela.

Suara bagasi tertutup membuat mereka berpaling. "Bensinnya udah gue isi ulang." Dion menutup tangki bensin yang entah sejak kapan ia buka.

"Hati-hati, Ra," peringat Lexa.

Syera melirik untuk yang terakhir kali. "Kalian jangan mati dulu, gue belum puas salahin kalian." Ia tancap gas beberapa detik setelahnya.

Mobil dengan stiker Wings of Freedom berukuran kecil yang iseng ditempel Lexa pada pojok kiri bawah kaca belakang mulai tampak mengecil, hingga lampunya pun pudar, lalu hilang ditelan gelapnya malam.

"Kalian sangat lucu."

Diamlah. Tangan Axel semakin terkepal kuat.

"Rafa?"

Persona yang dipanggil hanya berdeham. Kaki kirinya yang ditaruh di atas bantal sudah mati rasa. Bau anyir semakin menyeruak. Rafa mulai menghitung, kira-kira berapa waktu yang tersisa untuk ia bertahan.

"Jangan tidur," lirih Syera. Matanya dengan awas mencoba fokus pada jalanan di depannya, mengabaikan sosok yang sengaja memperlihatkan diri di sekitar jalanan. "Temenin gue."

Rafa terkekeh, "Gue ngantuk, Ra."

"Lu gak boeh mati! Lu pasti selamat!" Syera mempercepat laju mobil, tidak peduli akan apa yang ia tabrak nantinya. Kali ini, Rafa lebih penting.

The Secret UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang