15.

2 1 0
                                    

"Hati-hati, Lex!" Dion menarik lengan atas Lexa, menahannya agar tidak menginjak lantai yang hampir ambruk.

Lexa menarik napas begitu tersadar kalau ia hampir menempatkan diri dalam bahaya. "M-makasih, Dion."

Dion menepuk bahu Lexa. "Kamu mikirin apa, Lex?"

Lexa berjalan keluar ruangan yang terlihat seperti kamar mandi. "Rafa bagaimana, ya? Syera baik-baik aja, kah?"

Dion enggan menjawab, ia pun tidak tahu keadaan mereka, dan tidak mau menyimpulkan jika mereka baik-baik saja atau ... sebaliknya. Sama sekali tidak berkomunikasi membuat keadaan jadi lebih buruk.

Teriakan Axel mengharuskan mereka turun ke lantai dasar. Sesekali hampir tersandung karena lantai yang mencuat ditambah batang kayu yang berserakan. Bahkan Dion sampai jatuh di tangga terakhir karena tangga kayu terlampau lapuk.

"Ceroboh seperti biasa," cibir Axel tanpa menampakkan diri setelah mendengar bunyi berdebum dan erangan Dion yang menggema. Persona yang disindir hanya terkekeh.

"Kenapa, Kak?"

Axel mengetuk dinding kayu di sebelahnya. Seperti pintu ruang bawah tanah, ada rongga di balik dinding kayu itu. Axel berjalan dari sisi ruangan, ke sisi satunya sambil mengetuk. Terdengar adanya rongga di sepanjang ia mengetuk.

"Ada ruang rahasia lagi, tapi kita masih belum tahu cara membukanya," jelas Noel, "apa kita coba cari di ruang sebelahnya?"

Axel menggeleng. "Dion, kapak."

Dion tersentak, ingatan tentang kapak yang memutus kaki Rafa merasuki pikirannya. Namun, tetap Dion berjalan ke arah ruang bawah tanah. Ia ingat dengan jelas kapak tersebut sempat digenggam Rafa sampai keluar dari ruang bawah tanah. Di ruang belakang, Dion menemukan kapak yang dilumuri darah. Menahan segara rasa pusing juga mual, ia membawa kapak itu pada Axel.

"Y-yakin mau pakai kapak itu, Xel?" tanya Noel memastikan.

Axel berdeham, lalu mengalihkan pandangannya. "Gak."

Axel menendang tembok kayu di hadapannya. Dalam dua kali tendang, kayu tersebut rusak dan meninggalkan lubang yang menganga. Lantai yang berada di atasnya turut ambruk karena getaran yang Axel sebabkan. Debu juga daun kering beterbangan, membuat mereka terbatuk.

Dion hanya tersenyum paksa setelah menjatuhkan kapak. Tangannya kini lengket oleh sisa darah Rafa yang menempel pada gagang kapak. Lexa dengan telaten membasuh tangan Dion hingga bersih, ditambah cairan antiseptik yang menggantung di tasnya.

Merasa jalan masuk ke ruang rahasia tersebut sudah terbuka lebar, Axel mulai masuk dan menggeser reruntuhan memakai kakinya. Noel di belakangnya terus terbatuk karena debu juga bau lapuk yang menyesakkan.

Axel sampai harus membersihkan sarang laba-laba menggunakan ranting di dekatnya. Setelah cukup bersih, mata Axel menangkap lemari jati di ujung ruangan. Sisinya sudah mulai berlubang karena dimakan rayap juga usia, dihiasi sarang laba-laba pekat di sekitarnya. Di sebelah lemari itu, ada kursi juga meja usang, sekali diduduki pun pasti akan langsung patah.

"Ada apa, Kak?"

Dion dan Lexa menyusul di belakangnya. Seketika tangan mereka gemetar. Banyak foto yang digantung mengelilingi ruangan. Wajahnya sudah tak lagi jelas karena kelembapan udara. Satu hal, semuanya adalah foto perempuan, terlihat dari sisa gambar rambutnya. Totalnya ada 40 pigura.

"Creepy." Dion menelan salivanya.

Ruangan 3x3 meter berwarna putih kusam, kotor, banyak sarang laba-laba, dikelilingi banyak pigura, juga satu lemari tua besar. Entah apa gunanya ruangan ini sewaktu dulu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Secret UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang