12.

15 4 0
                                    

Mereka mulai saling mendekat, dalam hati berdoa masing-masing di dalam tenda paling besar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka mulai saling mendekat, dalam hati berdoa masing-masing di dalam tenda paling besar. Senter yang mereka bawa mulai meredup kehabisan daya. Suara burung yang berterbangan perlahan menghilang. Senja berganti menjadi malam. Pintu rumah di depan mereka tiba-tiba tertutup, seperti dibanting.

"Kita lebih baik pindah dulu, Kak," ucap Lexa pelan.

"Jangan. Kalau kita pindah, akan sulit untuk kembali ke sini. Kita gak tahu kedepannya akan seperti apa. Lebih baik berjaga-jaga," sanggah Axel. Tangannya menggenggam erat tangan Lexa.

Rafa menghela napas. "Gue akan cari kayu buat dibakar. Gak akan jauh, dekat-dekat sini aja." Ia pun berjalan dengan berbekal senter kecil.

Kakinya melangkah melewati rerumputan dan dedaunan kering yang sedikit lembab. Matanya mencari dengan teliti adanya ranting yang terjatuh, atau pohon kecil yang dahannya bisa ia patahkan. Mata Rafa berbinar begitu mendapatkan banyak dahan kering yang sudah terjatuh. Ia menggigit senternya, kedua tangannya mengumpulkan semua dahan dan beberapa daun kering.

"Swegini kayaya chuhuh," gumamnya tak jelas karena masih menggigit senter. Begitu badannya berbalik, ia jadi lupa ke mana harus berjalan. Padahal, ia pergi tak terlalu jauh.

Hah? Kok cahaya senter mereka hilang? Gue harus ke mana? Gelap banget.

Rafa mencoba berjalan lurus. Lima menit kemudian, ia masih belum mencapai teman-temannya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya, tapi segera ia hapus dengan punggung tangan. Senter Rafa berkedip. Menyala, lalu mati berkali-kali. Sampai akhirnya senter itu tidak lagi menyala. Senternya terjatuh dari mulut Rafa yang bergetar.

Gue selanjutnya, ya?

Rafa menunduk. Keputusan bodoh untuk pergi mencari kayu sendirian. Kacamata kotaknya terjatuh karena sudah kendor, tak sengaja ia tekan saat tidur di tenda. Rafa meraba tanah setelah meletakkan potongan dahan di sampingnya. Mata minus-nya memang sudah cukup parah.

Krak

Rafa memungut sesuatu dari bawah kakinya. Kacamatanya tampak miring dan kaca sebelah kirinya pecah. Napasnya ia buang berat, sudah kali keempat kacamatanya pecah dalam waktu kurang dari setahun.

Rafa merasakan kehadiran seseorang di hadapannya. Begitu ia memakai kacamata dengan benar, ia menatap lurus ke depan. Saat itu juga Rafa menyesal karena berhasil melihat dengan jelas tanpa pandangan kabur sosok yang ia kira seseorang tengah melayang di hadapannya.

Seringai yang besar akibat bibirnya terobek sampai telinga. Satu mata hitam pekat yang menatap penuh kebencian, sedang mata satunya menghilang, digantikan rongga hitam yang tampak busuk dengan belatung dan kelabang yang menyusuri tiap jengkal wajahnya, keluar-masuk membuat lubang-lubang kecil yang terlihat menjijikan. Darah terus menetes dari semua lubang di wajahnya.

Lehernya juga membusuk di sekitar lukanya yang menampakkan isi tenggorokan. Pakaiannya sudah koyak, tak berbentuk, penuh dengan noda darah basah dan kering. Rambut kusut bagai ijuk menambah rasa takut Rafa.

The Secret UntoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang